Ancaman Rumah Pohon di Hutan Oeluan

Kefamenanu, Ekorantt.com – Sekitar 10 orang pegawai Unit Pengelola Teknis (UPT) Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) tampak serius membangun rumah pohon. Rumah pohon dibangun di kawasan Hutan Oeluan di Desa Bijeli, Kecamatan Noemuti, Kabupaten TTU.

Hanya beberapa meter dari lokasi proyek pembangunan rumah, terdapat mata air Pancuran Oeluan. Masyarakat Desa Bijeli dan Desa Nifuboke cemas. Pembangunan rumah pohon dengan menebang pohon di kawasan hutan adat Oeluan berpotensi bikin kering sawah mereka. Selain itu, rakyat Noemuti terancam bahaya kekeringan.

Bersama seorang teman, EKORA NTT memasuki hutan adat tersebut dengan menggunakan kendaraan roda dua. Jarak tempuh ke Oeluan sepanjang 400 meter ditempuh dalam waktu 25 menit dari Kota Kefamenanu.

Hutan Oeluan merupakan salah satu kawasan hutan yang telah dijadikan pemerintah setempat sebagai tempat wisata. Rumah pohon dibangun dalam rangka mengembangkan destinasi wisata di Oeluan. Namun, selain tempat wisata, di Hutan Oeluan, terdapat beberapa sumber mata air untuk memenuhi kebutuhan warga antara lain untuk mengairi 178 hektar sawah.

Kondisi di atas menimbulkan pro-kontra tentang kebijakan penebangan pohon di Hutan Oeluan. Masyarakat setempat dikabarkan tidak menyetujui kebijakan Pemda TTU melalui Unit Pengelola Teknis (UPT) Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) yang menebang pohon di dalam kawasan Hutan Oeluan untuk membuat rumah pohon.

iklan

Masyarakat menolak karena pohon-pohon yang ditebang Dinas Kehutanan tumbuh di sekitar mata air Pancuran Oeluan. Mata air terancam kering. Ratusan hektar sawah juga terancam kering. Tambahan pula, adat setempat melarang segala jenis aktivitas apa pun di sekitar sumber mata air.

“Tidak boleh ada aktivitas dalam bentuk apapun. Apalagi saat pembuatan pohon rumah, Dinas Kehutanan tidak memberitahu masyarakat dan tokoh adat di Bijeli. Sebab, sawah itu bukan hanya punya orang Bijeli, tetapi dari banyak kalangan masyarakat,” ujar tokoh masyarakat Yohanes Lopiz saat ditemui Ekora NTT di sawahnya, Selasa (21/1/2019).

Yohanes mengatakan, dahulu, saat sebuah mata air di Oeluan dijadikan kolam renang, 57 hektar sawah rakyat harus beralih fungsi menjadi kebun. Sebab, tidak ada air yang dialirkan ke sawah.

Dinas Kehutanan TTU sendiri melarang aktivitas penebangan dengan sensor di kawasan hutan. Naumn, mereka sendiri menebang pohon di hutan adat tersebut.

“Masyarakat tidak diperbolehkan horo kayu di kawasan hutan, sementara mereka meng-horo kayu di kawasan hutan. Pak dong punya aturan seperti apa? Dari sisi aturan, orang kehutanan sudah melanggar kembali aturan yang mereka buat. Artinya, untuk bidangnya mereka, mereka membuat semena-mena sementara masyarakat kecil semua aturan melekat,” ungkapnya.

Beberapa tokoh masyarakat sepakat agar pembangunan rumah pohon di Oeluan harus dihentikan. Sebab, hal itu dapat merusak mata air beserta norma-norma adat di dalam kawasan hutan tersebut. Mereka mempersoalkan Dinas Kehutanan yang tidak bekerja sama dengan Dinas Pariwisata Kabupaten TTU untuk membuat rumah pohon di dekat kolam renang Oeluan.

“Seharusnya, sebelum membangun tempat wisata, Dinas Kehutanan melakukan sosialisasi terlebih dahulu bersama masyarakat, bukan setelah pembangunan baru ajukan surat untuk sosialisasi,” katanya.

Sementara itu, para mahasiswa asal Kecamatan Noemuti yang tergabung dalam Keluarga Mahasiswa Matup Mafit Noemuti (KM3N) telah melakukan audiensi dengan pihak Dinas Kehutanan TTU pada Senin, 20 Januari 2020 untuk mendiskusikan persoalan pembangunan rumah pohon di kawasan hutan Oeluan tersebut.

Menurut Ketua KM3N Gregorius Bai, pembuatan rumah pohon dengan menebang pohon di kawasan hutan tidak memberikan keuntungan, malah merugikan masyarakat. Sawah rakyat di Kecamatan Noemuti terancam dilanda kekeringan. Menurut dia, pemerintah perlu bikin tinjauan dan analisis dampak lingkungan terkait proyek pembangunan rumah pohon itu.

“Hasil audiensi tersebut adalah solusi pembelahan 10 cm aliran air di kolam. Akan dibuat juga satu aliran hingga mengalir ke kali. Hal ini akan direalisasikan pada awal Februari 2020,” ungkapnya.

Namun, Kepala Unit Pengelolah Teknis (UPT) Kesatuan Pengelolah Hutan (KPH) TTU Deddy Rodja, S.Hut membantah jika pihaknya telah menebang pohon dan merusak kawasan hutan adat di Oeluan. Dia berdalih, pohon yang ditebang merupakan pohon di tengah hutan yang sudah lapuk atau kering. Kayu yang dipotong tidak dibawa keluar tetapi dimanfaatkan kembali di kawasan. Dia juga mengklaim bahwa pembangunan tempat wisata tersebut sudah sesuai dengan aturan.

“Ada yang dukung dan ada yang tidak dukung itu wajar. Kita membuat sesuatu yang positif, [yaitu] bagaimana membuat parawisata di Kabupaten TTU dengan memanfaatkan jasa yang ada di dalam kawasan. Kita tidak ada penebangan di situ. Kita menggunakan pohon yang patah dan tumbang karena daripada dia lapuk kita menggunakannya untuk jasa. Jadi, kita tebang pohon yang kering karena saat orang berwisata, orang jatuh dan tumbang kena orang, siapa yang bertanggung jawab. Resikonya tinggi. Itu pun sudah ada berita acaranya semua,” jelasnya.

Sementara itu, Kasubag Tata Usaha Dinas Kehutanan Bernadeta Salem menjelaskan, selain sebagai ekowisata di kawasan Pancuran Oeluan, tempat tersebut bisa digunakan masyarakat setempat untuk menjual hasil bumi seperti kelapa dan umbi-umbian.

“Tidak perlu mereka mengeluarkan uang lagi untuk berjualan di pasar. Selain itu, sebagai tempat bagi masyrakat yang seminggu bekerja bisa melepas penatnya di Oeluan,” tuturnya.

Bernadeta juga membantah jika pihaknya telah menebang pohon di kawasan hutan tersebut. Menurut dia, tugas Dinas Kehutanan adalah melindungi hutan dari pembalakan liar.

Hasil investigasi Ekora NTT menunjukkan, terdapat ratusan balok kecil dari hasil penebangan pohon yang digunakan untuk membangun rumah pohon dengan ketinggian sekitar 4 meter. Tangga-tangga rumah juga dibuat dari balok-balok kayu di kawasan tersebut.

Santos

TERKINI
BACA JUGA