Dialog Geotermal Poco Leok, Komnas HAM Minta Pemerintah Dengarkan Suara-suara Penolakan Warga

Ruteng, Ekorantt.com – Sekitar ratusan warga Poco Leok, Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai, bertemu perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Kampung Lungar pada Minggu, 3 Maret 2024.

Setelah diterima secara adat, delegasi Komnas HAM berdialog terkait proyek geotermal bersama warga setempat di Mbaru Gendang Lungar. Warga berasal dari Gendang Tere, Mocok, Cako, Mori, Jong, Mucu, Nderu, Ncamar, Mesir, Racang, dan Lungar.

Agustinus Tuju, perwakilan Gendang Nderu menuturkan,  titik target pengeboran proyek geotermal hanya berjarak 100 meter dari pemukiman di kampungnya.

Agustinus khawatir bila pengeboran terjadi maka Kampung Nderu bisa terkena dampak mengingat lokasi kampung berada di bawah lereng.

Dalam kondisi biasa, daerah tersebut rawan longsor. Belum lama ini, longsor telah menimbun bangunan rumah warga. Beruntung tidak ada korban jiwa.

iklan

“Kalau terjadi pengeboran maka kami yang ada di Gendang Nderu tertimbun semua,” tegas Agustinus.

Ia menekankan bahwa warga tinggal di Poco Leok bukan dari ‘kemarin sore’. Mereka sudah lama menetap di sana sejak nenek moyang dulu.

Dialog Geotermal Poco Leok, Komnas HAM Minta Pemerintah Dengarkan Suara-suara Penolakan Warga1
Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Uli Parulian Sihombing sedang menerima manuk kapu di Gendang Lungar, Kecamatan Satarmese. (Foto: Adeputra Moses/Ekora NTT)

Tugas generasi sekarang, kata Agustinus, adalah menjaga dan melestarikan kampung, bukan malah menghancurkannya.

Bagi dia, geotermal akan membawa kehancuran bagi kehidupan di kampung dan sudah sepantasnya untuk ditolak.

Intimidasi dan Manipulasi

Konsekuensi dari penolakan itu tentu memang sangat berisiko, kata Agustinus. Pemerintah mengerahkan aparat keamanan untuk mengintimidasi warga.

“Ada seorang ibu yang ditendang sampai pingsan. Ada seorang bapak juga yang sampai masuk rumah sakit waktu kami aksi menjaga kampung,” sebut Agustinus.

Bahkan, pihak perusahaan melakukan manipulasi demi memuluskan proyek yang didanai Bank Jerman ini.

Misalnya, kata dia, pihak perusahaan melakukan pertemuan di tempat lain, tapi yang diekspos ke luar adalah pertemuan di Poco Leok.

“Mereka pertemuan di Gendang Lale, tapi mereka ekspos di Poco Leok. Ini semua bentuk manipulasi terhadap kami orang Poco Leok,” ujarnya.

“Maka hal-hal di atas kami warga Gendang Nderu dan orang Poco Leok pada umumnya menolak keras kehadiran proyek geotermal,” sambungnya.

Pernyataan penolakan disampaikan juga oleh Ignasius Nasat, perwakilan Gendang Ncamar.

Saat diberi kesempatan berbicara, ia bersikeras untuk tidak memberikan lahannya sebagai salah satu titik pengeboran geotermal. Lahannya masuk di salah satu titik pengeboran atau wellped F yang berlokasi di Lingko Rembong.

“Saya dengan saya punya adik-adik tidak setuju untuk dibebaskan apalagi dirusak. Apalagi ahli waris orangtua kami. Kita tidak setuju sama sekali.”

Menjual tanah untuk proyek geotermal, kata Ignasius, sama halnya menjual orangtua mereka.

Demikian juga Ignasius selalu memikirkan tentang masa depan anak-anaknya. Sehingga, ia berkewajiban untuk mewariskan tanah-tanahnya kepada sang anak.

“Karena sering orang bilang jual saja itu. Beli lagi saja nanti tanahnya. Tapi, saya bilang bukan ahli waris lagi namanya itu. Tapi, tanah beli,” tegasnya.

Suara Orang Muda

Tak hanya orang tua. Orang muda Poco Leok buka suara dalam dialog tersebut.

Trisno Arkadeus, salah satu perwakilan anak muda mengemukakan, sejak lebih dari lima tahun silam, setelah mendengar kabar akan hadirnya proyek geotermal perluasan PLTP Ulumbu Unit 5-6 di Poco Leok, kecemasan mulai menghantui kaum muda.

Terbukti sejak tahun 2020 pemerintah dan perusahaan PT PLN rutin melakukan sosialisasi, yang menurut mereka adalah bagian dari pemenuhan tuntutan prosedural dalam tahap perencanaan proyek.

Kegiatan tersebut, kata Trisno, terus berlanjut pada tahun berikutnya, di antaranya survei lokasi tanpa meminta izin kepada pemilik lahan, dan pendekatan-pendekatan pribadi secara diam-diam kepada warga.

Dialog Geotermal Poco Leok, Komnas HAM Minta Pemerintah Dengarkan Suara-suara Penolakan Warga3
Kampung Lungar (Foto: Adeputra Moses/Ekora NTT)

Di sisi lain, secara hukum juga pemerintah mengeluarkan regulasi tentang izin lokasi pada akhir tahun 2022, menyusul keputusan Menteri ESDM tentang Flores sebagai Pulau Panas Bumi pada 2017.

“Tahun 2023 adalah tahun penuh kedaruratan, mengingat terjadinya berbagai peristiwa; sosialisasi dan survei lokasi, pengukuran dan pematokan lahan, puluhan kali pengadangan oleh warga di lapangan, aksi demonstrasi warga di Ruteng, dan lain-lain,” katanya.

Sementara, pengerahan aparat keamanan seperti TNI, Polri, dan Pol PP menjadi pendekatan yang paling dominan dilakukan oleh pemerintah dan perusahaan.

Pendekatan keamanan kemudian memicu terjadinya kekerasan aparat, menyebabkan sekurang-kurangnya belasan orang warga, termasuk perempuan dan warga lainnya mengalami luka fisik.

“Juga terdapat dugaan kekerasan seksual terhadap kaum perempuan di lokasi pengadangan,” jelasnya.

Atas dasar itu, kata dia, sebagai kaum muda Poco Leok yang korban pembangunan negara dalam proyek perluasan PLTP Ulumbu Unit 5-6, menolak dengan alasan keselamatan ruang hidup dan generasi mendatang sebagaimana telah diutarakan dalam sejarah perjuangan selama ini.

Pihaknya juga cemas akan masa depan Poco Leok yang terancam eksploitasi geotermal, yang menurut mereka tidak ramah lingkungan seperti dikampanyekan penguasa dan perusahaan.

“Kami menolak cara-cara kekerasan yang dilakukan alat negara, yaitu aparat keamanan, karena itu sama dengan memecundangi negara Indonesia sebagai negara demokrasi,” ujarnya.

Trisno menuntut pemerintah segera mencabut seluruh peraturan terkait proyek ini.

Ia meminta Komnas HAM untuk memperhatikan persoalan ini secara serius dan bertanggung jawab, sehingga menunjukkan keberpihakan pada warga sebagai korban pembangunan dan kekerasan negara.

“Kami meminta supaya pihak Komnas HAM berdiri bersama kami warga yang tertindas,” pintanya.

Suara Warga Harus Didengar

Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Uli Parulian Sihombing menerangkan, testimoni warga sangat bermanfaat bagi pihaknya untuk menemukan fakta-fakta yang terjadi di Poco Leok.

“Terus terang kami baru menerima itu bulan Oktober 2023. Menerima pengaduan surat,” ujar Uli menanggapi warga.

Komnas HAM, ujar Uli, telah memanggil beberapa pihak, di antaranya PLN, KfW (sebuah bank pembangunan dan investasi milik negara Jerman) serta pihak lain yang dipandang perlu, termasuk Bank Dunia.

Pihak-pihak tersebut tentunya dipanggil untuk menjelaskan tentang proyek geotermal di Poco Leok.

“Hari ini kami datang ke sini mencari fakta-fakta. Kami juga ingin tahu dan melihat, terutama di wellped. Juga mendengar bapa ibu sekalian,” kata Uli.

Uli berpendapat, pihaknya terlebih dahulu melakukan inventarisir dan identifikasi tentang permasalahan akibat dampak proyek geotermal.

Masalah-masalah itu, Uli menyebutkan, di antaranya permasalahan lingkungan hidup, dugaan pelecehan seksual, kekerasan terhadap warga, tanah ulayat, serta pertanian dan perkebunan.

“Itu yang coba kami inventarisasi dan identifikasi permasalahan dampak dari proyek geotermal di Poco Leok,” ucapnya.

Dikatakan, hal tersebut tentu bagian dari kerja mereka, terutama tentang Hak Asasi Manusia. “Itu yang kami sedang perdalam,” ketusnya.

Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Uli Parulian Sihombing sedang memantau di salah satu titik yang akan dilakukan pengeboran (Foto: Adeputra Moses/Ekora NTT)

Komnas HAM ingin tahu jumlah wilayah yang sangat dekat dengan titik pengeboran. Uli menyebut, ada yang 100 meter. Dan itu berdampak terhadap kehidupan warga.

“Misalkan di situ belerang, uap apa segala macam. Sehingga menimbulkan permasalahan kesehatan. Jadi konsen kami juga di situ,” tegasnya.

Komnas HAM memandang, dalam proyek ini masyarakat yang harus didengar. Sebelum proyek dilakukan, terlebih dahulu harus mendengarkan suara-suara warga.

Uli mengapresiasi perjuangan warga Poco Leok yang berani mempertahankan tanah, adat, dan lingkungan mereka.

“Itu yang sangat jarang dilakukan oleh masyarakat,” sebutnya.

Komnas HAM juga berkonsentrasi terhadap masyarakat adat. Masyarakat adat punya hak atas tanahnya, kehidupannya, adat istiadatnya,  dan terhadap hukum adatnya. Hal itu harus dihormati oleh negara, kata Uli.

“Jadi negara harus menghormati, karena sebelum negara ini sudah ada masyarakat adat sebelumnya. Sebelum Indonesia merdeka,” tutupnya.

Pantau Langsung ke Wellpad

Dialog Geotermal Poco Leok, Komnas HAM Minta Pemerintah Dengarkan Suara-suara Penolakan Warga2
Tim Komnas HAM sedang melakukan pemantauan di wellpad F yang berlokasi di Ncamar, Desa Lungar (Foto: Adeputra Moses/Ekora NTT)

Setelah berdialog dengan warga, pihak Komnas HAM memantau langsung wellpad F yang berlokasi di Ncamar, Desa Lungar.

Titik tersebut berdekatan dengan pemukiman warga sekitar, jaraknya sekitar 100 meter. Lokasinya berada di atas bukit yang curam.

Rombongan Komnas HAM, Justice, Peace and Integrity of Creation  (JPIC) OFM, dan JPIC SVD juga turut memantau. Salah satunya di titik yang terluar bagian utara di wellpad tersebut.

Lokasi itu dibenarkan oleh seorang Staf Desa Lungar, Hen Sopan yang turut berada di lokasi.

“Iya, titik utara,” sahutnya, menjawab pertanyaan rombongan yang hadir.

TERKINI
BACA JUGA