Nasib Hidup Warga Lingkaran PLTP Ulumbu: Bau Busuk, Produktivitas Anjlok hingga Karat Perabotan Dapur

Ruteng, Ekorantt.com – Ignasius Nasat (67), seorang warga Lengkong, Desa Lungar, Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai, NTT, masih trauma dengan peristiwa 2021 silam.

Kala itu, ia tiba-tiba didatangi oleh petugas PLTP Ulumbu untuk memberitahunya bahwa akan membuka gas beracun yang bersumber dari perusahaan itu.

Tidaklah salah. Ignasius dan keluarga memang tinggal di sebuah wilayah yang masuk dalam lingkaran Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu.

Wa mai sumur. Karena manga muing lise jadwal los racun taed (Dari sumur. Mereka sudah jadwalkan los racunnya,” ujarnya kepada Ekora NTT, Minggu, 3 Maret 2024.

iklan

Para petugas meminta Ignasius untuk mengenakan masker dan tutup telinga. Ignasius pun menanyakan alasannya kepada petugas.

Maksud so’o Bapa, tanggal hitu toe nganceng keluar mbaru ite selama tiga jam. Manga los racun (Maksudnya begini Bapa, tanggal itu nanti tidak bisa keluar rumah dulu selama tiga jam, ada los racun,” ujarnya meniru perkataan petugas.

Saat gas dibuka, Ignatius dan anak laki-lakinya langsung mencium tak sedap. Baunya bak telur busuk. Mereka tiba-tiba pusing, lalu berupaya menutup hidung dengan menggunakan bantal tidur.

Nasib Hidup Warga Lingkaran PLTP Ulumbu_ Bau Busuk, Produktivitas Anjlok hingga Karat Perabotan Dapur1
Sebuah kawah semburan lumpur panas dan uap yang letaknya tidak jauh dari rumah warga. Foto diambil Rabu, 28 Februari 2024 (Foto: Adeputra Moses/ Ekora NTT)

Memakai satu masker saja tidak cukup. Mereka merasakannya selama empat belas hari.

Dan tu’ung. Rasa kole lami racun hitu. Tapi toe artin pake masker ca hitu. Aku agu roeng hi Karlo harus pake bantal tutup (Dan, betul. Kami rasakan bau racun itu. Pakai satu masker tidak cukup. Saya dengan anak saya bernama Karlo terpaksa  menggunakan bantal untuk menutupi hidung,”  ujar pria kelahiran 1958 itu.

Beruntungnya, warga di wilayahnya tidak ada yang pingsan. Namun, trauma masih tersisa hingga sekarang.

Uap racun memang harus tersampaikan hingga ke rumah warga. Karena, lanjut dia, letak permukiman mereka berada di lereng bukit, sedangkan PLTP Ulumbu berada di titik lebih rendah.

Ignatius bilang, sebelumnya petugas dan tenaga medis sempat memberikan sosialisasi. Dalam sosialisasi tersebut mereka menerangkan “kalau rasa pusing, nanti ada petugas medis yang periksa”.

Akan tetapi, setelah pelepasan gas, satu pun medis tak ada yang muncul batang hidung. Padahal pengalaman dia selama tinggal di sana, pelepasan gas racun sudah terjadi tiga kali.

“Sampai sekarang merasa trauma dan takut karena berbeda bau belerang seperti sehari-harinya,” ujarnya.

“Pelepasan itu tidak setiap tahun. Mungkin 4 atau 5 tahun,” sambungnya.

Hasil Komoditas Anjlok

Sejak beroperasinya PLTP Ulumbu tahun 2011, hasil Komoditas warga sekitar lingkaran proyek panas bumi mulai anjlok.

Sebut saja avokad. Sebelum operasinya PLTP Ulumbu, avokad masih berbuah. Sekarang berbanding terbalik, bahkan pohonnya mati.

“Bo wua, tapi mata koles (Buah iya, tapi banyak yang mati)” ucapnya.

Dulu, kata dia, sumber penghasilan terbanyak di wilayahnya juga adalah kopi. Mirisnya, pohon kopi yang dulunya berbuah lebat kini banyak yang mati karena pohon dadap sebagai pelindungnya mati.

“Mungkin pengaruh sumur geotermal,” sebutnya.

Perabot Dapur Karat

Dengan wajah kesal Imaculata Dia, seorang warga Dusun Lengkong menunjukkan kondisi perabot dapurnya yang sudah lama berkarat.

Sejumlah perabot seperti mok, piring, dan rice cooker sudah lama tak terpakai akibat karat termakan H2S, kata Imaculata.

Ami Nana eme pake piring belek ancur ca minggu (Kami kalau menggunakan piring aluminium dalam satu minggu hancur),” ujarnya.

Imaculata bilang, pemakaian piring dan mok tersebut tidak sampai sebulan. Sedangkan rice cooker hanya bertahan dalam tiga bulan.

Warga terpaksa menggunakan piring plastik. Demikian juga untuk memasak, warga juga terpaksa kembali menggunakan kayu api seperti sedia kala.

“Pokoknya piring aluminium hancur,” ujarnya.

Imaculata mengaku tinggal di situ sejak 1992 silam. Atap rumahnya menggunakan seng asbes.

Rata-rata rumah warga menggunakan seng tersebut sebagai atap rumah. Misalkan, seorang warga lain, Maria Sangut menggunakannya sejak lama.

Nasib Hidup Warga Lingkaran PLTP Ulumbu_ Bau Busuk, Produktivitas Anjlok hingga Karat Perabotan Dapur2
Imaculata Dia, seorang ibu rumah tangga di Dusun Lengkong, Desa Lungar, Kecamatan Satarmese, sedang menunjukkan sejumlah perabotan rumah tangga yang karat akibat H2S. Foto diambil Rabu, 28 Februari 2024 (Foto: Adeputra Moses/Ekora NTT)

Eme naa belek biasa de toe beheng wirot gi hang le belerang (Kalau menggunakan seng biasa tidak lama hancur akibat belerang),” sambung Maria.

Tak hanya merusak perabotan, warga juga kerap mengalami gatal di bagian tubuh. Untuk berobat, mereka hanya bisa mandi di kali yang airnya mengalami kandungan belerang.

“Kami juga sering gatal. Hanya biasanya kami langsung ke kali mandi di sana biar bilang,” kisahnya.

Mengikis Kebun Warga

Karolus Manjar, seorang warga lain mengemukakan, semakin hari kawah tersebut semakin melebar mengikis perkebunan warga sekitar.

“Dulu kondisinya kecil, sekarang semakin lebar,” ujar Karlo.

Hal itu mengancam ruang hidup masyarakat setempat, terutama perumahan warga sekitar kawah.

Karlo pun menuntut perlindungan kesehatan khususnya bagi warga yang berusia balita dan lansia.

Karlo bilang, selama ini PLN memberikan CSR dalam bentuk benih hortikultura dan merencanakan bantuan ternak bagi warga setempat. Akan tetapi, bantuan tersebut bukanlah hal urgen, karena kesehatan lebih penting ketimbang ternak.

“Karena itu lebih penting bagi kami,” ujarnya.

Lucunya, menurut dia, kendati kampungnya dekat PLTP Ulumbu, tapi akses jalannya belum teraspal. Mereka masih melintas di jalan bebatuan.

“Teleford ini sejak tahun 2020. Anggarannya dari dana desa,” sebutnya.

Perluasan ke Poco Leok

Kini, masyarakat dihadapkan pada rencana poyek geotermal di Poco Leok, Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai, berkapasitas 2×20 MW yang merupakan proyek perluasan panas bumi dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu.

Proyek itu dilakukan dalam rangka memenuhi target menaikkan kapasitas dari 7,5 MW saat ini menjadi 40 MW.

Tetapi, rencana perluasan masih menuai pro kontra kendati sebagian warga telah menyerahkan lahan mereka kepada perusahaan.

“Kita juga punya hak untuk memperoleh lingkungan yang ramah dan bersih. Landasan itu juga menjadi dasar penolakan selain kami mempertahankan budaya,” kata Tedy Sukardin, warga Poco Leok.

Geotermal Proyek yang Ekstraktif

Staf advokasi, kampanye dan pengorganisasian rakyat Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTT Gres Gracelia klaim  bahwa geotermal ramah lingkungan merupakan sebuah kekeliruan.

“PLN lupa bahwa tiga titik pengeboran terdahulu di Pulau Flores, misalnya di Daratei Mataloko, Ulumbu, dan Sokoria Ende itu berdampak buruk terhadap lingkungan hidup masyarakat di Flores,” terangnya kepada Ekora NTT, Kamis, 29 Februari 2024.

Belajar dari Daratei Mataloko dan Ulumbu, misalnya, geotermal tidak bisa berdampingan dengan lahan warga. Justru geotermal salah satu proyek ekstraksi yang sangat rakus air. Akibatnya pada privatisasi air.

Grace berpendapat, metode fracking dalam ekstraksi panas bumi itu sangat berbahaya, mengingat potensi panas yang berada di perut bumi dipaksakan keluar dengan menyemburkan air dan zat kimia untuk membocori tanah.

Hal ini, menurut dia, dapat mengakibatkan debit dan kualitas air dapat  menurun dan akan berdampak pada kualitas pangan.

“Di beberapa wilayah pengeboran geotermal di Indonesia, misalnya, masyarakat harus melakukan adaptasi pertanian, karena geotermal tidak dapat berdampingan dengan lahan warga,” terangnya.

Selain itu juga, geotermal berdampak pada berubahnya tata guna lahan. Sebab, lokasi eksplorasi dan eksploitasi wilayah kerja geotermal itu bukan pada ruang-ruang kosong, tetapi tempat panas bumi diekstraksi itu terdapat pemukiman penduduk, sumber-sumber mata air, kawasan hutan, dan tanah-tanah ulayat yang semuanya vital bagi kehidupan masyarakat.

Dikatakannya, geotermal juga sangat berdampak terhadap kesehatan. Gas H2S yang dihasilkan dari proyek ekstraksi sangat berpengaruh terhadap tubuh manusia.

“Belajar dari Mataloko, salah satu dampak buruk yang dihasilkan dari proyek geotermal adalah banyak masyarakat di sekitar pengembangan geotermal mengalami gangguan kesehatan, baik gangguan pernapasan maupun penyakit kulit,” jelas Grace.

Tentu dampak buruk, ujar dia, tidak hanya dirasakan oleh manusia, tetapi ekosistem pun ikut terganggu.

Grace mengemukakan, perlu juga diingat bahwa mandat perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup itu diatur dalam UU PPLH Nomor 32 Tahun 2009 di mana pengelolaan lingkungan yang lestari dan berkelanjutan harus mempertimbangkan daya tampung dan daya dukung lingkungan.

“Untuk itu PLN juga harus jujur menyampaikan bahwa geotermal itu juga memiliki dampak buruk untuk lingkungan hidup dan kehidupan masyarakat,” tutupnya.

TERKINI
BACA JUGA