Perjuangan Dua Ratu di Sikka yang Angkat Harkat dan Martabat Perempuan dalam Stratifikasi Sosial

Maumere, Ekorantt.com – Di NTT pada umumnya, tradisi perkawinan tak terlepas dari rangkaian atau tahapan budaya yang sudah turun temurun yaitu belis atau mas kawin. Tahapan ini biasanya diawali peminangan dengan membawa sirih pinang oleh pihak laki-laki ke pihak perempuan. Selanjutnya, pebayaran belis lalu kemudian proses perkawinan.

Tata cara perkawinan budaya ini juga masih sering dilakukan hingga saat ini, tak terkecuali di wilayah Kabupaten Sikka-Flores. Belis menjadi hal yang penting dalam kehidupan masyarakat, terutama bagi calon pasangan.

Berbicara tentang belis di Sikka, tak terlepas dari sosok Ratu Dona Agnes Inez da Silva dan Ratu Dona Maria Du’a Lise Ximenes da Silva. Keduanya ialah pemimpin kaum perempuan yang berani memperjuangkan harkat dan martabat perempuan jauh sebelum Raden Ajeng Kartini (1879-1904).

Sejarahwan dan Budayawan Sikka, Oscar Pareira Mandalangi, menuturkan pada masa antara tahun 1613 sampai dengan tahun 1620, Kerajaan Sikka dikendalikan oleh dua dona puteri raja keturunan Don Alessu. Setelah Don Alessu meninggal dunia, dua ratu itulah pengganti dan memimpin di Sikka.

Selama masa kepemimpinan, Ratu Maria dan Ratu Inez menerapkan secara khusus hukum adat penetapan belis yang wajib diperlakukan oleh pihak laki-laki terhadap pihak perempuan. Sebab, belis atau (Ling Weling-Bahasa Sikka) sebagai penghargaan untuk mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan disaat hidup bersama dengan keluarga pihak laki-laki.

iklan

Dalam stratifikasi kehidupan sosial, kata Oscar, kaum perempuan diartikan dalam bait budaya Sikka sebagai berikut ;

Ata dua utang naha nora ling, labu naha nora weling. Naha beli wiing nora tudi manu diat nora kila bitak. Ata meng ene wua weli poi ita, ata mahang ene hoi weli poi ita. Inat au naha leto, met au naha boter.

Artinya; kaum wanita selalu bernilai tinggi ialah harga diri atau martabatnya. Baju atau sarung sekalipun jangan disentuh. Sedang budak orang sekali pun bukanlah hak kita. Anak orang bukanlah kuasa kita. Berarti segala wanita jangan direndahkan sebagai bola permainan, yang dikawini dan diceraikan sesuka hati.

Dari sini-lah, Ratu Maria dan Ratu Inez memulai memperjuangkan harkat dan martabat serta hak-hak perempuan. Keduanya menginginkan perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang sama.

“Kepemimpinan kedua ratu ini sebagai awal kebangkitan kaum wanita. Lebih fokus mengangkat harkat dan martabat dan melindungi kaum wanita dengan penetapan belis atau Ling Weling,” ujar Oscar.

Ketua Lembaga Adat Kelurahan Wairotang ini menegaskan Ratu Dona Maria dan Dona Inez menetapkan mas kawin sebagai letak dasar emansipasi wanita agar mereka dilindungi dari sisi tatanan adat istiadat.

“Kedua ratu ini tidak hanya dikenal sebagai ratu yang mengendalikan Kerajaan Sikka tetapi secara khusus penerapan hukum adat Ling Weling,” tutur dia.

Dampak Negatif Belis

Dibalik perjuangan Ratu Maria dan Ratu Inez yang mengangkat harkat dan martabat perempuan, belis atau mas kawis ternyata memberi dampak negatif terhadap pasangan suami-istri baru.

Berdasarkan data dan temuan Divisi Perempuan Tim Relawan untuk Kemanusiaan -Flores (TRUK-F) yang pernah ditulis Kompas, rentan waktu 2003-2006 terkumpul 104 kasus kererasan terhadap perempuan dari motif belis.

Temuan pada 2003 terdapat 5 kasus yakni pasangan tidak dapat melaksanakan pernikahan Katolik karena belis belum lunas. Suami tertekan karena terus-menerus dipaksa keluarga perempuan untuk segera membayar belis. Selain itu, terdapat 10 kasus suami merantau untuk mengumpulkan uang agar dapat melunasi belis.

Pada 2005, terdapat 12 kasus kekerasan terhadap perempuan oleh suami. Saat istri melarikan diri ke keluarganya, suami dan keluarganya memaksanya untuk kembali sebab belis sudah dibayar lunas.

Sementara tahun 2006, terdapat 19 kasus penelantaran perempuan karena suami harus merantau untuk mencari uang guna melunasi belis. Adapun 5 kasus lainnya dimana keluarga istri mengintimidasi suami untuk melunasi belis. Karena tertekan, suami akhirnya melakukan kekerasan terhadap istri.

Adapun dampak lain dari belis berdasarkan hasil temuan TRUK-F yakni keluhan dari 10 perempuan tua (Deri Gete-Bahasa Sikka) yang tak menikah, yang diduga terkait persoalan belis.

Yuven Fernandez

TERKINI
BACA JUGA