Maumere, Ekorantt.com – Bupati Sikka Roby Idong menyatakan, kebutuhan ekonomi 80 % masyarakat Kabupaten Sikka terpenuhi melalui utang.
Lebih lanjut menurutnya, utang masyarakat paling dominan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan, urusan kesehatan dan adat.
Sedangkan hutang untuk usaha ekonomi riil masyarakat sangat kecil.
Roby berasumsi, masyarakat harus tega jual tanah untuk bayar biaya pendidikan atau urusan kesehatan.
“Ini masalah sosial yang paling berat. Saya dengan Bapa Romanus dalam sisa waktu empat tahun ini akan terus berjuang memenuhi hak-hak dasar masyarakat baik di bidang pendidkan, kesehatan maupun ekonomi,” kata Roby.
Bupati Roby menjelaskan, angka kemiskinan di kabupaten Sikka tinggi. Untuk mengatasi beban utang masyarakat kabupaten Sikka tersebut, bupati Roby mengatakan, pihaknya bersinergi dengan Pemerintah Provinsi NTT untuk mendorong keterlibatan berbagai elemen masyarakat untuk bergerak di sektor riil.
“Kami dorong koperasi untuk mengubah pola, bukan hanya simpan pinjam tetapi bergerak di usaha ekonomi sektor riil. Misalnya, Koperasi Pintu Air bergerak di sektor biru yakni kelola garam dan ikan, serta sektor hijau di minyak kelapa,” jelas Roby.
Upaya mendongkrak ekonomi lokal masyarakat ini dikampanyekan melalui slogan “Bela Sikka, Beli Sikka.”
Melalui slogan ini, setiap warga masyarakat Kabupaten Sikka, baik yang ada di Sikka maupun warga Sikka diaspora di luar Kabupaten Sikka dibangkitkan rasa cintanya terhadap tana Puher Oha, dengan cara membeli semua produk lokal yang dihasilkan masyarakat Sikka.
Roby yakin, jika ideal itu terlaksana, pendapatan masyarakat Sikka akan meningkat dan kesejahteraan bisa terukur.
Bupati Roby mengharapkan agar para camat dan kepala desa yang hadir dapat membantu mendorong masyarakat desa di wilayah masing-masing untuk giat membangun usaha ekonomi lokal yang ada, sesuai dengan potensi desa masing-masing.
Roby berharap dana desa bisa secara optimal mendukung pemberdayaan masyarakat desa.
Mantan camat Nele ini mengaku, saat ini geliat pertumbuhan usaha ekonomi riil di kota Maumere sedang tinggi. Hal ini terbukti, pada malam hari, di ruas jalan utama di kota Maumere, mulai ramai masyarakat berjualan makanan lokal seperti ubi rebus, ikan panggang, lawar dan aneka jualan lainnya. (ano)
Secara substansial, upaya Emil membangun “filsafat
kemapanan” ini dapat ditemukan dalam rumusan pemikiran ini: “Emil menggunakan
“teologi kemapanan” (teologi status quo)
yang telah saya gunakan untuk mengkritik Toni, untuk selanjutnya melawan Toni.
Lalu, seperti hendak melampaui Toni, Emil menempatkan dan
menjelaskan problem yang terjadi, baik di dalam maupun di luar STFK,
serentak menempatkannya dalam kategori yang sama; mulai dari hal remeh temeh
seperti kertas karbon hingga kemiskinan, kapitalisme,
dan sebagainya.
Lebih dari itu, wataknya yang dogmatis, yang
masih dipakainya ini, berujung pada penolakannya terhadap asumsi filsosofis
saya bahwa ia sedang berupaya mendirikan “filsafat kemapanan.”
Hal ini karena kecenderungannya untuk menjelaskan
segala problem tersebut secara dialektis
Hegelian dalam hasratnya yang begitu besar untuk menjadi Marxis.
Dalam kritiknya terhadap Toni, Emil sepertinya
mengamini Plekhanov dalam bukunya “Masalah-Masalah Dasar
Marxisme”(2007), yang mengatakan bahwa “marxisme adalah
suatu pandangan dunia yang lengkap dan menyeluruh.”
Plekhanov dalam pandangan banyak pemikir dikenal sebagai seorang Marxis terpandang yang sangat baik dalam menjelaskan teori Marx dan Engels.
Namun, Emil lupa bahwa ketika Plekhanov menyebut “dialektika
idealistik Hegel telah ditempatkan oleh Marx di atas suatu landasan
materialistik”, hal ini merupakan acuan bagi para pencetus “Teori
Kritis” Mazhab Frankfurt (Horkheimer,
Adorno, Habermas, Honneth) setelah Marx, untuk menyerang kembali Marxisme
dengan pandangan dunia materialistiknya yang telah menjangkiti masyarakat
modern; suatu hal yang tidak disadari oleh Plekhanov.
Dengan demikian, kecenderungan untuk melihat segala sesuatu dari sisi material akan
membawa orang pada sikap hedonistis dan konsumeristis berujung pada kehancuran
kehidupan itu sendiri atau dalam pandangannya Max Weber, “hilangnya pesona
dunia (discenchantment of the world).”
Bagi para pembaca yang teliti, dalam buku itu,
Plekhanov membela Marx secara habis-habisan
atas kritik yang dituduhkan kepadanya, tetapi nama para anggota Mazhab Frankfurt itu tidak
disebutkan sama sekali namanya.
Tak ada kritik dari Plekhanov bagi mereka secara
terang-benderang.
Demikian pun ketika mengkritik saya, Emil
tidak memunculkan nama-nama itu.
Pertanyaan saya, apakah Emil sudah membaca Teori Kritis para pemikir
ini?
Apakah Emil seorang yang realistis ketika membaca
Marx?
Oleh karena
itu,
menurut saya, Emil masih terjebak dalam kerangka pemikiran Plekhanov; memandang
Marxisme sebagai suatu pandangan dunia yang menyeluruh, lalu menjadikannya yang
terbaik, berikutnya melihat segala problem dan masalah sosial di atas suatu
“landasan materialistik.”
Di atas landasan itulah, pandangan Emil
bertendensi dogmatis dan positivistik.
Hal ini bermula karena ketidakmampuan Emil sendiri
dalam membuat diferensiasi yang tegas antara Dialektika Hegel dan Ilmu
Marxisme.
Dialektika Hegel adalah satu hal. Ilmu Marxisme adalah
hal lain.
Dialektika seperti dikatakan Hegel adalah sebuah
perkembangan yang tidak berhenti.
“Prinsip dialektika adalah mengkonstitusikan kehidupan
dan jiwa perkembangan ilmiah, dinamika yang memberikan hubungan imanen dan
keperluan pada tubuh ilmu pengetahuan” (1975: 116).
Benar bahwa dalam Hegel prinsip dialektis tetap
tinggal dalam pikiran.
Sejarah, alam, dan manusia yang terus menerus berubah
itu disesuaikan dengan pikiran yang juga terus menerus berubah.
Marx menerima itu.
Akan
tetapi,
lebih dari itu, Marx serentak mengawinkannya dengan realitas; sejarah, alam,
dan manusia dan menjadikannya bercorak ilmiah di atas landasan dan gerakan
“material-kebendaan” – dapat disebut kini sebagai ilmu Marxisme.
Persoalannya, hingga kini, ilmu-ilmu berkembang dan
berdiferensiasi dan terus “mengkonstitusikan kehidupan dengan jiwa perkembangan
ilmiah,” dalam batas-batas dan objek kajiannya masing-masing yang “memiliki
hubungan imanen dengan tubuh ilmu pengetahuan bersangkutan.”
Itulah mengapa “jika ilmu melampaui batas objek
kajiannya, maka ilmu tersebut pasti akan bertentangan” (Kondrad Kebung, 2015:
34-35) berikutnya menimbulkan “konflik normatif” atas pluralitas ilmu dan memandang
ilmu lain secara inferior.
Patut ditegaskan bahwa Ilmu Marxime secarah normatif walaupun bertujuan memahami sejarah, alam, dan manusia secara keseluruhan dalam suatu kerangka emansipasi atau dalam rumusan Engels menuju “kerajaan kebebasan”, ia tidak berkuasa di hadapan pengalaman dan kehidupan yang dalam sebaris sajaknya Leo Kleden “lebih kaya dari cinta, lebih miskin dari rindu.”
Pada titik ini, saya dapat berargumentasi bahwa “apa yang ditulis
tidak lebih luas dari apa yang diucapkan dan apa yang diucapkan tidak lebih
luas dari apa yang dialami.”
Ilmu Marxisme tidak sanggup dan tidak cukup membantu
dalam menjelaskan semua gejala yang hadir dalam segala peristiwa yang
berlangsung entah disadari atau tidak hanya di atas landasan yang materialistik
dalam hukum ekonomi- produksi.
Saya memberikan contoh nyata.
Gerald dan Bojan, dua mahasiswa STFK tingkat IV, yang
setelah lelah bekerja dalam menyukseskan acara pada suatu hari di “musim pesta
emas,” menghabiskan beberapa jam di ruang Senat Mahasiswa (SEMA) hanya untuk
mendengar musik sambil tersenyum dan lebih memilih menceritakan keberhasilan
mereka agar tidak depresi daripada membicarakan kegagalan hari itu.
Pertanyaannya, mengapa dua mahasiswa itu setelah
bekerja, memilih masuk dalam ruang SEMA dan bukan tempat lain?
Mengapa memilih mendengarkan musik dan bukan yang
lain?
Mengapa ingin menceritakan keberhasilan dan bukannya
kegagalan?
Apakah semua gejala yang berlangsung dalam semua peristiwa ini menjadi objek kajian ilmu
marxisme?
Tentu tidak, Emil.
Melalui ilmu Marxisme, Emil hanya bisa menjelaskan “bagaimana mereka bekerja – dan secara empiris dan aposteriori–
dalam kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang menentukan kerja mereka”, tetapi tidak bisa menjelaskan begitu banyak hal perihal dentuman psikologis yang membuat mereka
akhirnya tersenyum, berbicara, dan membuka musik.
Jadi, ilmu
marxisme, ilmu psikologi, dan ilmu sosial budaya dipadukan untuk menjelaskan hal
ini.
Emil sebenarnya telah mengamini kerja sama lintas ilmu itu.
Namun, sayangnya, ia masih mengaitkan persoalan yang diangkat dengan suatu kesimpulan yang naif bahwa semua problem itu dapat dijelaskan dalam ilmu Marxisme.
Konsekuensinya, seperti dikatakan Emil bahwa karena logika dialektika materialis Marxis bersumber dari Marxisme, dan berikutnya Marxisme adalah ilmu (yang lengkap dan terbaik) maka secara logis-formal, kesimpulannya juga jelas: semua persoalan baik yang terjadi di dalam maupun di STFK ini merupakan objek kajian ilmu Marxisme, suatu kajian ilmiah yang meletakkan dasarnya dalam “ hukum-hukum materi – kebendaan”, logika produksi dan perjuangan kelas.
Dengan demikian, pada akhirnya, Emil mempunyai kecenderungan untuk menciptakan “konflik
normatif” atas pluralitas ilmu tersebut dan menjelaskan secara Hegelian
materialisme dialektis Marx.
Dengan sangat tegas, Emil membuat pernyataan bahwa
“Teologi status quo atau teologi mistik akan dengan mudah mengaitkan
semua kejadian di STFK Ledalero sebagai akibat dari intervensi logos.”
Emil lupa bahwa dengan pernyataan seperti itu, sesungguhnya, ia telah terjebak terlebih dahulu dalam suatu “reduksi total” lalu menampakkan kembali secara implisit kekeliruan yang telah ia letakkan “di belakang” untuk ditampilkan secara eksplisit “di depan” dengan suatu pemahaman yang sangat positivistik-materialis Marxis; “mengaitkan semua kejadian di STFK Ledalero (termasuk berbagai kegiatan selama pesta Emas) dan berbagai problem seperti kemiskinan, kapitalisme, dan kertas karbon, yang diangkatnya kembali serentak menyamakannya sebagai akibat intervensi materi-kebendaan.”
Jika menurut Emil benar, Emil harus membuktikan itu.
Sayangnya, tidak ada pembuktian sama sekali soal itu secara
sistematis dan metodis dari sudut ilmu Marxisme, agar masyarakat pun tahu bahwa
di STFK,
misalnya telah terjadi penindasan dan perampasan hak hidup oleh pihak
tertentu.
Sesuai alur berpikir ini, maka, upaya Emil agar STFK mengajarkan ilmu marxisme tetap
merupakan suatu pemaksaan dan tentu tidak berterima.
Hal ini dielak Emil dalam kritiknya terhadap saya.
Emil katakan bahwa saya tidak mampu membedakan arti should sebagai sebuah ajakan dan must sebagai keharusan dan karena
menyimpulkan secara gegabah hanya dari sumber kedua, hipotesis Toni.
Bila Emil melihat dengan cermat alur berpikir saya ketika mengkritiknya, sebenarnya, saya menangguhkan pemaksaan ini terlebih dahulu.
Saya mengatakan bahwa “filsafat tidak boleh melayani
kepentingan kekuasaan. Filsafat harus melawannya. Cara yang ditawarkan Emil
adalah sebuah ajakan (atau pemaksaan?) ‘sudah seharusnya STFK mempelajari
marxisme sebagai ilmu’.”
Saya memutar logika Emil ketika Emil mengatakan
terlebih dahulu kata “harus” sebagai pemaksaan dan membuatnya semacam ajakan.
Suatu eufimisme yang pura-pura dibuat Emil agar terlihat
lembut dari gairahnya yang kasar dan memaksa dalam rumusannya,
yang bagi saya hanya verbalisme penuh intrik.
Kita lihat dua paragraf terakhir dalam tulisan Emil
pertama. [“Dengan demikian, sebagai institusi intelektual, STFK Ledalero harus terus memperkenalkan logika
dialektika materialis Marxis…, karena logika dialektika materialis Marxis
bersumber pada Marxisme, maka sudah seharusnya
STFK Ledalero meneruskan dan membiarkan… ].
Suatu cacat logika yang fatal menurut saya.
Akhirnya, perlawanan Emil terhadap “teologi kemapanan” ini pada
akhirnya membuat Emil seperti orang yang takut dicap “ateis militan”
(menjelaskan tiadanya Tuhan secara ilmiah), lalu berupaya mengambil kembali pemikirannya yang
menurut saya “yang absen” itu, lalu pasrah secara total terhadap intervensi
Sabda Allah dan kerja sama ilmu-ilmu; yang pertama-tama harus diakui terlebih dahulu terlibat dalam seluruh kegiatan pesta
emas STFK Ledalero, sebelum membeberkan persoalan-persoalan baru yang tidak
terkandung dalam inti perdebatan agar bisa dicarikan solusinya.
Emil, menurut saya, tergolong dalam kelompok pencinta Marxisme Ortodoks.
Marxisme Ortodoks adalah rumusan Engels dan Kautsky yang menyatakan kesetiaan pada pemikiran asli Marx.
Begitu pun Plekhanov ketika menjelaskan Marx secara baik
termasuk dalam golongan ini.
Emil sudah menjadi bagian dari mereka.
Seorang Marxis-Ortodoks adalah orang yang hendak
menjaga kesetiaan ajaran asli Marx.
Seperti yang dirumuskan Plekhanov pada awal
argumentasi filosofis ini, mereka akan menjadikan Marxisme sebagai ajaran yang
lengkap untuk menjawabi berbagai problem ini.
Kita tahu, fundamentalisme agama bermula dari sini.
Dari sebuah “literalisme skriptural” hingga mengurung
relativisme kebenaran dalam suatu pandang kebenaran tunggal.
Pada titik ini, upaya Emil untuk membangun “filsafat
kemapanan” (filsafat status quo)
dalam ajaran murni Marx mendapatkan pembenaran.
So, Emil harus belajar dari Heiddeger bahwa filsafatnya
yang mempertahankan statusquo telah menggiring dia untuk tunduk di
bawah Hitler dalam kekuasaan yang kejam dan tiranik.
Sebelum itu terjadi, barangkali kita perlu membebaskan logika “filsafat
kemapanan”, jika memungkinkan memenggal “kepala Emil.”
Jadi, penting menempatkan masalah pada
tempatnya, agar kecintaan kita terhadap masalah-masalah sosial yang membutuhkan
penyelesaian
melalui pendekatan ekonomi-politik Marxisme tidak menemukan kekaburan karena
cacat logika formal yang dibangun sendiri.
Ada banyak hal yang masih ingin saya
perdebatkan, tetapi, saya cukupkan dulu, termasuk data-data yang harus Emil tunjukkan
tentang buku-buku di perpustakaan, yang kata Emil hanya buku-buku tua, tentang
demonstrasi mahasiswa yang sayangnya Emil sendiri sebagai dosen kurang
perhatikan lebih jeli, soal waktu pelaksanaan demo itu yang bertepatan dengan
acara pesta emas yang padat dan melelahkan dan Emil sendiri selalu setia hadir
di sana, makan minum dengan bebas-merdeka, tanpa pernah turun ke lapangan
bersama anggota PMKRI Maumere, juga soal disrupsi yang akan diulas juga
di majalah Vox Ledalero edisi semester ini.
Untuk Ekora
Siapa
bilang Marxisme tidak penting?
Marxisme, menurut saya, sangat penting saat ini
dan mendesak ketika kapitalisme menggurita.
Kesenjangan
ekonomi di Flores,
seperti yang diulas Emil,
harus membutuhkan perspektif baru untuk ditemukannya solusi melalui
ekonomi-politik Marx dan bukan hanya pendekatan moral demi menyelesaikan persoalan ini
seperti yang telah dikatakan oleh mahasiswa yang diwawancarai oleh media Ekora
itu.
Bahkan, saya telah mengusulkan
di bagian tulisan saya terdahulu, bahwa lembaga intelektual besar di NTT seperti STFK ini
harus mulai mengadakan penelitian sosial, menyiapkan dana, bekerja sama secara
interdispliner antarilmu agar menemukan solusi yang lebih baik.
Titik yang saya mulai ini, menurut saya, telah dijelaskan dengan baik oleh
Emil.
Namun, dari berita yang
diluncurkan Ekora
berjudul “Beda Pendapat tentang Marxisme, Dosen
dan Mahasiswa Berdebat di Koran” (10/10/2019),saya melihat ketidaklengkapan pada isi
pemberitaan.
Hal
ini dapat berdampak buruk bagi penilaian masyarakat atas STFK.
Jika
Ekora adalah media yang kritis,
Ekora harus membuat pertanyaan dan wawancara juga atas fenomena
mengenai mengapa ilmu Marxisme perlu diajarkan dalam kaitan dengan problem
penindasan, kepemilikan aset-aset produksi, dan sebagainya menuju “kerajaan
kebebasan” itu ketika Emil mempunyai kecenderungan untuk mereduksi
secara total berbagai peristiwa dan kejadian di STFK dalam satu model pembacaan
melalui ilmu Marxisme.
Jadi, dalam kaitan dengan model pembacaan
tunggal seperti ini, adalah bijak dan bermanfaat jika Ekora sebagai media yang
kritis untuk mengusut berbagai kasus yang diangkat Emil dengan meneliti lebih
jauh teristimewa bertanya pada mahasiswa, misalnya, apa benar persoalan remeh
temeh seperti kertas karbon, misalnya, yang diangkat Emil itu, telah mendatangkan penindasan antara
dosen dan mahasiswa hingga berdampak pada kesenjangan ekonomi atau melakukan
wawancara dengan karyawan-karyawati, misalnya, apakah selama pesta emas berlangsung
penindasan struktural telah terjadi di sana.
Hal ini penting karena menyebut Marxisme, saya sendiri selalu melihatnya secara positif soal “watak emansipatoris” yang dibawanya untuk membebaskan manusia dari kekerasan struktural ekonomi-politik.
Sebagian kritik terhadap ulasan Emil telah disampaikan oleh Toni Mbukut dalam tulisannya berjudul “Yesus Kristus, Sang Sabda yang Menjelma” di Ekorantt.com pada 10 Oktober 2019.
Saya pun, seperti Toni, ingin kembali mengkritik Emil, terutama tentang beberapa hal yang dilupakan oleh
Toni.
Seperti kata Emil dalam tulisannya “Logos, Ledalogos, dan Ledalodima”bahwa
tidak ada kebenaran tunggal, maka sebagai pencinta kebenaran, pencarian
terhadapnya harus terus dilakukan hingga akhirnya kita bertelut sujud dan
mengabdi padanya.
Sebagai seorang intelektual yang telah mendapatkan
gelar sarjana dan menjadi staf pengajar pada STFK Ledalero, tentunya
klarifikasi dan tanggapan Emil sangat diperlukan.
Ada banyak informasi yang yang dapat dipakai sebagai
sumber dan bahan refleksi kritis atas masalah-masalah sosial oleh siapa pun,
termasuk saya, yang sedang berupaya untuk –
seperti kata van Peursen – “menarik akar” pengalaman hidup dan menemukan
pandangan dunia (worldview) baru melalui elaborasi kognitif-rasional dengan
kenyataan riil (Heriyanto, 2003:15) dan berupaya menemukan solusi.
Dalam ulasannya yang panjang lebar ini, menurut saya, Emil menyadari
bahwa argumentasi yang ia bangun dalam tulisannya “Upaya Menggapai
Kebijaksanaan” itu penuh dengan “kekurangan” yang patut ia jelaskan
lagi secara “terang benderang” agar dapat dipahami secara baik.
Namun, bagi saya – mengamini Goenawan
Mohamad dalam tulisannya tentang Aletheia– pemaparan Emil ini membuat “kita bisa silau dan tak
melihat apa yang sebenarnya tak terang-benderang” (Tempo, 12/9/2018).
Akibatnya, yang tetap terkenang adalah kesan gelap yang
ditinggalkan, berikut mengaburkan, dan pada akhirnya membutakan.
Oleh karena itu, penjelasan yang begitu panjang lebar
disampaikan oleh Emil ini tidak mengubah sedikit pun
pandangan saya yang telah saya sebutkan sebelumnya bahwa Emil adalah “seorang
pencinta marxisme ortodoks yang kurang perhatian” atau “pencinta marxisme
ortodoks yang sedang membutuhkan perhatian.”
Bahkan, upayanya untuk membangun “filsafat kemapanan”
(kendati ia tolak) dan tetap setia padanya semakin dikuatkan oleh
inkonsistensi-inkonsistensi pemikiran yang ia bangun sendiri (akan saya
jelaskan nanti pada dua bagian pembahasan di bawah ini).
Jadi,
posisi intelektual saya adalah hendak membebaskan watak ideologis dan dogmatis
dari upaya Emil membangun “filsafat kemapanan.”
Lebih dari itu, saya ingin memperjelas gagal paham media Ekorantt.com perihal problem mendasar yang berujung pada perdebatan antara saya, Emil, dan Toni agar tidak menggiring opini pada penilaian yang “bukan-bukan” serta menyoal pentingnya Marxisme. Hal ini akan saya jelaskan secara singkat.
Ilmu, Pengetahuan, dan Logos
Menurut saya, pemikiran Emil yang bermasalah dan menimbulkan banyak inkonsistensi secara logis-formal, hingga meruntuhkan substansi pemikiran Emil sendiri berangkat dari beberapa “kekeliruan elementer” yang dibuatnya teristimewa dalam penggunaan kata-kata kunci yang saya pakai untuk mengkritiknya teristimewa, “ilmu” (lengkapnya ilmu pengetahuan) dan “pengetahuan.”
Kekeliruan elementer ini dapat dijelaskan dalam analogi
ini: mengatakan bahwa nol itu kosong,
padahal nol itu penting untuk Matematika dan Matematika penting untuk Fisika.
Seperti Emil mengatakan bahwa ilmu (lengkapnya ilmu
pengetahuan) dan pengetahuan itu tidak penting bagi perdebatan ini, lalu mengganggapnya
sama begitu saja hingga tidak menjelaskan keduanya lagi, padahal keduanya ini
sedemikian penting yang turut mendukung pemikiran Emil.
Barangkali karena terlalu mementingkan logika dialektis materialis, Emil
melupakan pentingnya logika formal untuk
membuat pemikirannya bergerak sistematis dan metodis.
Jadi,
inkonsistensi pemikiran Emil dapat ditemukan pertama, dalam kaitannya dengan pemahaman Emil tentang ilmu dan
pengetahuan ini.
Menurut KBBI, ilmu berarti pengetahuan tentang suatu
bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat
digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.
Sementara itu, pengetahuan berarti segala sesuatu yang dapat diketahui.
Sesuai pengertian itu, ilmu jelas lebih sempit karena
berbicara tentang satu hal.
Pengetahuan sendiri berbicara mengenai segala sesuatu
termasuk ketidaksadaran dan mimpi yang lalu diangkat oleh Freud dalam studi
ilmiahnya.
Kita dapat mendekati ilmu, teori,
atau dogma karena kita mengetahui tentangnya, walaupun tidak penuh.
Pun jika ilmu itu kita golongkan lagi dalam kategori
tertentu, objek kajiannya akan menjadi lebih spesifik lagi.
Misalnya, ilmu alam yang mengkaji fakta empiris yang
beraneka ragam seperti fisika, biologi, dan kimia juga memiliki objek kajian yang berbeda.
Kedua, “logos.”
Pada ulasan sebelumnya, kata ini tidak
dipakai.
Namun, dalam kritikannya terhadap Toni dan saya kemudian, logos itu dihadirkan.
Ia mengatakan bahwa saya memiliki pemahaman yang
berbeda dengan logos yang dipahami
oleh Toni.
Benar, walaupun harus diakui bahwa logos itu berasal dari Yunani.
Bila Emil mampu membedakan ilmu dan pengetahuan
seperti sudah saya jelaskan di muka, maka Emil dapat memahami bahwa logos adalah bagian dari pengetahuan dan
menjadi bagian penting dalam studi ilmu-ilmu.
Sebagai bagian dari pengetahuan, pemahaman tentang logos itu terus berkembang dan
berubah-ubah.
Menurut James P. Werner, “logos is defined in a number
off different ways”(2006:
79).
Ia bisa berarti kata, ucapan, pikiran, akal budi,
kebenaran, pengetahuan, kebijaksanaan, dan sebagainya.
Yunani pra-Sokrates mengartikannya sebagai “the
principle governing human reasoning about the cosmos.”
Setelah abad ke-6 dan pengaruh tradisi Barat, logos dibedakan dari mythos.
Logos lalu diartikan dengan akal, pikiran.
Ketika ilmu berkembang dan semakin otonom, logos ini disebut sebagai diskursus (Ermanno Bencivenga, 2017: 1).
Masing-masing ilmu lalu menyebut logos dengan
aneka rupa terutama dalam diskursus rasional mencari kebenaran.
Teologi Kristen menyebut divine wisdom of God untuk logos,
Yesus.
Jadi, tidak
benar menurut saya, bila ketika membahas ilmu marxisme yang memiliki watak
dogmatis lebih kurang versi Emil,
dengan serta merta kita menerima begitu saja –
seperti yang dirumuskan Emil – “dalam konteks logos
ilmu dan pengetahuan tidak berbeda. Keduanya satu dan sama.”
Dalam konteks logos
sekalipun,ilmu
dan pengetahuan tidak bisa disamakan begitu saja mengingat perkembangan
penggunaan kata itu dan konteks penggunaannya.
Lebih dari itu, karena tanpa melihat secara detail pemahaman seperti
ini,
Emil dengan serta merta mengatakan bahwa saya memandang logos bersifat materialis (logos huruf kecil).
Bila Emil cukup cermat membaca, Emil akan menemukan
bahwa logos itu saya gunakan untuk
menentang kecenderungan Toni untuk membangun “teologi kemapanan” sehingga takut
pada kekuasaan, terutama kekuasaan dalam pembredelan buku-buku Marxis.
Seperti saya, Emil berupaya untuk menentang kekuasaan,
tetapi upaya Emil untuk melawan kekuasaan itu akhirnya tidak mampu diraih
karena kecenderungan untuk tetap setia pada “filsafat kemapanan,” kecenderungan
kuat pada logos material.
Selanjutnya, kritik saya terhadap Emil tepatnya bukan
karena ketidakpahaman saya tentang ilmu dan dogma, melainkan karena
karakter dogmatis ilmu Marxisme yang saya temukan dalam penjelasan Emil.
Jadi, logosyang saya pahami adalah
logos yang menyatukan filsafat dan teologi, ilmu-ilmu lain,
dan juga Marxisme.
Oleh karena itu, walaupun Emil membuat pembedaan antara Logos (dalam huruf besar) dan logos (logos dalam huruf kecil) dan menganjurkan agar STFK mengajarkan Marxisme sebagai ilmu dan bukan sebagai ideologi, bagi saya, hal ini tetap merupakan kesimpulan yang bermasalah karena cacat inheren dalam logika formal yang barangkali tidak dipedulikan Emil. (Bersambung…)
Maumere, Ekorantt.com – Meskipun iuran bulanan BPJS untuk perawatan orang sakit kategori kelas III cukup murah, hingga saat ini tercatat sebanyak 18.000 warga Kabupaten Sikka tunggak membayar iuran BPJS Mandiri.
“Masyarakat tidak sanggup membayar premi bulanan. Pemerintah harus bertanggung jawab karena itu merupakan pemenuhan hak dasar masyarakat di bidang kesehatan.”
Demikian ditegaskan Bupati Sikka, Roby Idong dalam sambutannya pada acara penyerahan secara simbolis Bantuan Pangan Non Tunai Kabupaten Sikka 2019 kepada keluarga penerima manfaat, Selasa 8/10 2019 di Sikka Convention Center.
Roby mengakui, di masa kepemimpinannya bersama Romanus, selama sisa waktu empat tahun ke depan, keduanya berjuang keras memenuhi hak-hak dasar masyarakat baik di bidang kesehatan, pendidikan maupun ekonomi.
Khusus di bidang kesehatan, Bupati Roby memerintahkan agar para kepala desa bisa mengeluarkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) untuk meringankan beban biaya opname di rumah sakit kelas III, bagi masyarakat kurang mampu yang tidak mengakses layanan BPJS.
Soal tunggakan 18.000 ribu warganya yang tidak mampu melunaskan iuran BPJS, Roby menegaskan, pihaknya telah berkoordinasi dengan BPJS agar dicarikan solusinya secara bersama-sama supaya tunggakan itu tetap dilunaskan. Solusi dicari baik melalui lembaga keuangan maupun non keuangan seperti koperasi dan dana desa.
“Sambil cari solusi, mereka harus tetap dilayani. Saya minta akurasi data dari desa hingga kecamatan karena banyak warga yang tidak punya NIK, atau ada yang ganda,” kata mantan Camat Nele itu.
Roby mensinyalir, selain tunggakan perawatan di rumah sakit kelas III, tunggakan pembayaran iuran BPJS di Sikka terjadi pada pemegang kartu BPJS kelas I sebanyak 1000 orang dan kelas II sebanyak 2000 lebih.
Umumnya, penunggakan pembayaran BPJS kelas I dan II terjadi bukan karena pemegang kartu BPJS tidak mampu, melainkan karena lalai.
“Ini banyak sekali dari kalangan ASN,” tegas Bupati Roby.
Ketua DPC PDIP Kabupaten Sikka itu menyatakan, sebagai realisasi dari fokus pemenuhan kebutuhan dasar di bidang kesehatan berdasarkan data keluarga kurang mampu, pemerintah akan membangun rumah sakit tanpa kelas di Kecamatan Doreng, dan tiga unit rumah sakit pratama yakni di puskesmas Beru, Paga dan Pulo.
Beberapa kepala desa yang sempat diwawancarai Ekorantt.com menyatakan siap mendukung program Bupati Sikka melalui dana desa sejauh itu tidak bertentangan dengan regulasi yang ada.
“Kami siap untuk bantu masyarakat, asal tidak bertentangan dengan hukum dan peraturan,” tandas Kades Watutedang, Yunius Reko. Hal senada juga disampaikan oleh Agustinus Sin, Kades Hepang, Kecamatan Lela.
Ekorantt.com berusaha menghubungi Kepala BPJS Kesehatan untuk meminta konfirmasi via telepon terkait tunggakan pembayaran iuran BPJS di Kabupaten Sikka. Meski dihubungi berkali-kali, nomor telepon Kepala BPJS Kesehatan Maumere tetap tidak dapat dihubungi. (ano)
Sebagai bagian dari bangsa Astronesia, masyarakat Flores tidak mengenal konsep tuan tanah, kecuali penjaga tanah (land guardian) yang tidak berhak mengklaim tanah suku sebagai milik pribadi.
Namun, setelah kolonialisme berakhir, para golongan aristokrat tradisional (mosalaki) di Flores mulai mengklaim diri sebagai tuan tanah (land lord) yang berhak memiliki kekuasaan atas tanah yang luas.
Di bawah pengaruh kolonialisme, pada tahun 1930an, misalnya, “Flores […] yang tidak terkena hukum “hak pribadi atas tanah” pada dasarnya dikuasai oleh para tuan tanah yang tidak lain adalah “raja-raja” lokal.”
Para tuan tanah di Flores ini – di bawah pengaruh penetrasi kapitalisme– terus mereproduksi kekuasaan mereka di pelbagai institusi modern yang penting di Flores hari ini.
Alhasil, para tuan tanah dan keluarganya sudah bertransformasi menjadi birokrat, politisi, dan pemimpin dalam Gereja Katolik, yang kerap tersandung kasus-kasus korupsi hari ini.
Persoalan Agraria
Pekerjaan dominan di Flores hari ini adalah bertani.
Pada 2013, penduduk Flores yang aktif bekerja di sektor pertanian sebanyak 415.433 orang.
Dalam waktu lima tahun, jumlah petani Flores ini hanya meningkat sedikit menjadi 460.820 orang di tahun 2018.
Namun, dari jumlah ini, pada tahun 2013, terdapat 112.384 petani gurem (termasuk petani bertanah kecil atau tak bertanah), yang meningkat menjadi 134.004 pada tahun 2018, yang berarti bahwa petani gurem selama lima tahun terakhir bertambah 2%.
Tentu, petani gurem di Flores akan terus bertambah dari tahun ke tahun seiring dengan meningkatnya penetrasi kapitalisme ke wilayah pedesaan di Flores hari ini.
Di persawahan Mbay, misalnya, akibat penetrasi kapitalisme hari ini, surplus pertanian mulai terkonsentrasi pada petani kaya dan, bahkan, tanah dikuasai oleh petani kaya, termasuk para petani sayur yang berasal dari Bima.
Konsentrasi tanah pada golongan tuan tanah telah membawa dua implikasi.
Pertama, jumlah tuna kisma meningkat, yang terpaksa bekerja sebagai penggarap dan buruh tani untuk dapat mereproduksi diri dan keluarganya secara subsisten.
Kedua, banyak petani di Flores yang memutuskan untuk merantau sebagai buruh migran ke Malaysia.
Di dua dekade pertama abad ke-21, NTT setiap tahun mengirim sekitar 200.000-400.000 orang ke luar negeri baik secara legal maupun ilegal.
Banyak dari orang-orang yang bekerja di luar negeri ini berasal dari keluarga petani gurem yang memiliki pendidikan formal yang rendah dan, karena itu, mereka tidak memiliki keterampilan yang memadai dan harus bekerja di sektor-sektor produksi di luar negeri yang berbahaya, seperti di sektor konstruksi dan pertanian, khususnya di perkebunan kelapa sawit di Malaysia.
Alhasil, banyak dari pekerja migran asal NTT di luar negeri ini yang meninggal dunia.
Berdasarkan data, pengiriman mayat dari luar negeri ke NTT terus meningkat, yakni dari 27 mayat tahun 2014 menjadi 107 mayat di tahun 2018.
Dari tahun 2014-2018, NTT sudah menerima 268 peti mayat TKI asal NTT dari luar negeri.
Kondisi ketimpangan agraria di Flores di atas telah membuka peluang lebih besar bagi kalangan aristokrat tradisional untuk melakukan mobilitas kelas sosial.
Karena dewasa ini, tanah tidak lagi menjadi satu-satunya sumber ekonomi dan politik seperti di masa lalu, maka para golongan aristokrat tradisional yang berkuasa di Flores hari ini melihat institusi politik, birokrasi, dan Gereja Katolik sebagai “sumber ekonomi dan politik baru” agar bisa terus mereproduksi kekuasaannya.
Penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi merupakan hal lazim di institusi birokrasi dan politik di Flores.
Sekitar 97% dana APBD di Flores yang digelontorkan oleh pemerintah pusat menjadi sumber daya ekonomi yang “diperebutkan” oleh para birokrat dan politisi.
Contoh lain adalah korupsi dalam sektor infrastruktur, yang mana para politisi dan birokrat senior meminta 10% dari total nilai satu proyek infrastruktur dari para kontraktor.
Di Flores, lembaga yudikatif juga tak luput dari praktik korupsi infrastruktur.
Seorang kepala dinas pekerjaan umum (PU) di salah satu kabupaten di Manggarai dipenjara di Kupang akibat terjerat kasus korupsi.
Alasan terjeratnya kepala dinas PU ini tak terlepas dari intervensi lembaga yudikatif di Flores.
Tentang terjeratnya kepala dinas PU ini, seorang responden menjelaskan demikian:
“Jaksa meminta tiga proyek, tetapi dia hanya memberikan satu proyek sesuai dengan arahan bupati. Selang sebulan, kasus korupsi lamanya diangkat, dia pun diciduk, dan dipenjara satu tahun lebih di Kupang. Artinya, jika dia masih layani permintaan oknum jaksa bersangkutan, berarti kasus korupsinya yang lama tidak diproses.”
Gereja Katolik juga tak jarang tersandung kasus korupsi.
Korupsi yang paling tenar yang pernah dilakukan oleh Gereja Katolik di Flores baru-baru ini dilakukan oleh Uskup Hubertus Leteng, yang menilep dana Keuskupan Manggarai sebesar Rp1,6 miliar.
Tentang hal ini, Charles Beraf, seorang pastor Katolik dari serikat religius Serikat Sabda Allah (SVD), menulis bahwa uskup Hubertus Leteng “telah menyalahgunakan dana Gereja Katolik lokal di Keuskupan Ruteng untuk membiayai studi seorang anak yang dituduhkan sebagai hasil dari perselingkuhannya dengan seorang ibu di Ruteng.”
Selain itu, hari ini, Gereja Katolik di Flores menjadi seperti Gereja pembangunan (developmental church).
Gereja pembangunan – seperti halnya Negara pembangunan (developmental state) – yang mengurus dan mengolah uang dalam jumlah besar, yang sering sibuk dengan pelbagai proyek pembangunan – seperti pembangunan gedung Gereja megah di tengah kemiskinan masyarakat Flores hari ini – cenderung terjebak dalam praktik-praktik koruptif, yang merugikan umat (massa rakyat).
Namun, korupsi dalam tubuh Gereja Katolik sulit disingkap.
Sebab, Gereja Katolik adalah salah satu institusi berpengaruh secara ekonomi politik di Flores.
Apalagi, Gereja Katolik mengelola dana-dana non-pemerintah, yang tidak menjadi fokus pekerjaan aparatus Negara dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Mewabahnya korupsi di Flores terefleksi dalam data korupsi beberapa tahun terakhir.
Pada 2007, kota Maumere di Flores pernah menjadi kota terkorup di Indonesia.
Pada 2018, Indonesia Corruption Watch melaporkan 19 kasus korupsi dan suap di NTT dengan kerugian Negara Rp10,7 miliar.
Reforma Agraria
Secara ekonomi politik, fakta korupsi di Flores dilakukan oleh golongan-golongan aristokrat tradisional yang hari ini menguasai institusi birokrasi, politik, dan Gereja Katolik.
Korupsi yang dilakukan oleh golongan aristokrat tradisional ini sulit diendus.
Sebab, golongan inilah yang menguasai sumber daya ekonomi – terutama tanah – di Flores hari ini.
Dengan kekuasaan ekonomi dan politik yang besar, mereka bisa berkelit untuk terlepas dari kontrol publik dan jerat hukum.
Sementara itu, masyarakat miskin di Flores tidak menantang tindakan koruptif para aristokrat tradisional ini akibat kemiskinan dan politik patron-klien.
Kemiskinan membuat mereka tidak bisa mengakses pendidikan dan, karena itu, tidak sadar akan hak-hak mereka.
Apalagi, organisasi politik akar rumput di Flores sudah mati sejak lama, terutama pasca pembantaian 1965.
Politik patron-klien – misalnya antara penduduk desa dan seorang kepala desa yang adalah tuan tanah di pedesaan – membuat mereka enggan bersikap kritis.
Bersikap kritis dapat berimplikasi negatif berupa hilangnya sumber daya ekonomi untuk sekedar bersubsistensi.
Akibatnya, korupsi di Flores menjadi lumrah, tak terdeteksi, dan sulit dikontrol.
Penguatan kerja lembaga KPK – yang hari ini sedang dilemahkan oleh negara – di Flores dan pemberian penyadaran kritis kepada masyarakat memang patut dilakukan di Flores hari ini.
Hanya saja, hemat saya, upaya yang bersifat teknis dan jangka pendek ini harus diikuti oleh upaya perombakan struktur agraria di Flores yang bersifat ekonomi politik dan jangka panjang, yang merupakan akar persoalan korupsi di Flores hari ini.
Reforma agraria di Flores sejatinya tidak harus menjadi persoalan yang rumit.
Sebab, seperti yang ditegaskan di awal tulisan ini, di Flores seharusnya tidak terdapat tuan tanah melainkan penjaga tanah yang tidak serta merta mengklaim tanah suku milik seluruh anggota suku sebagai tanah pribadi.
Apalagi, selain tanah-tanah yang dikuasai oleh pemerintah dan Gereja Katolik dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) yang bisa dijadikan objek reforma agraria, hingga hari ini masih banyak tanah suku di Flores yang belum dibagi, yang bisa menjadi objek reforma agraria di Flores.
*Pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, Flores, NTT
Maumere, Ekorantt.com – Di tengah kesibukan dan kegenitan Negara Pancasila menyusun aturan kontroversial bahwa “Setiap Orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apapun dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun,” para mahasiswa dan dosen di STFK Ledalero, Maumere, Flores, NTT, justru sibuk “baku pukul” ide alias berdebat di koran juncto media online tentang marxisme.
Perdebatan antara mahasiswa dan dosen di kampus Katolik ternama di Flores itu cukup menyita perhatian publik, yang dibuktikan dengan ribuan views saat berita ini dirilis, karena para Penulis punya perbedaan pandangan yang cukup tajam tentang Marxisme.
Perdebatan
dipantik oleh Dosen STFK Ledalero Emilianus Yakob Sese Tolo melalui artikel
berjudul “Upaya Menggapai Kebijaksanaan” di koran cetak dan online Flores
Pos, 14 September 2019.
Gagasan
Emil kemudian didebat oleh Toni Mbukut, Mahasiswa Pascasarjana STFK Ledalero,
melalui artikel berjudul “Sabda sebagai Sumber Spiritual dan Pusat Intelektual”
di koran yang sama pada 24 September 2019.
Artikel Emil dan Toni lantas didebat lagi oleh Elton Wada, Mahasiswa Sarajana Filsafat STFK Ledalero melalui artikel berjudul “Yang Absen dalam Filsafat Kemapanan dan Teologi Kemapanan”, juga di koran yang sama, pada 26 September 2019.
Dalam
sebuah artikel tanggapan yang lumayan panjang berjudul “Logos, Ledalogos, dan
Ledalodima”, Emil “hantam” lagi dua mahasiswa didikannya di atas pada 8 Oktober
2019.
Kali
ini, karena alasan teknis, lokus perdebatan dipindahkan ke media Ekorantt.com.
Sampai
berita ini diturunkan, artikel Emil didebat lagi oleh Toni Mbukut melalui
artikel berjudul “Yesus Kristus, Sang Sabda yang Menjelma” di media yang sama
pada 10 Oktober 2019.
Karena
perdebatan antara dosen dan mahasiswa di kampus-kampus di Indonesia pada
umumnya dan di Flores pada khususnya melalui media koran sangat jarang terjadi,
maka Ekora NTT berinisiatif meminta pendapat beberapa pihak terkait perdebatan
antara dosen dan mahasiswa STFK Ledalero di atas.
Perbedaan sebagai Hal yang Lumrah
Ketua STFK Ledalero Pater Dr. Otto Gusti Nd. Madung
Ketua STFK
Ledalero Pater Otto Gusti Nd. Madung, SVD saat dihubungi Ekora NTT, Selasa (8/10)
malam berpendapat, perbedaan pendapat adalah fenomen yang lumrah dalam sebuah
masyarakat demokratis.
Perbedaan
itu konsekuensi logis dari pengakuan akan dua ciri kodrati manusia, yakni
kebebasan dan kesetaraan.
Menurut
Pater Otto,bukti bahwa manusia bebas ialah dia berpikir otonom.
Sementara
itu, kesetaraan terungkap dalam peluang yang sama bagi setiap orang dalam
mengartikulasikan pandangannya.
“Itu pada
tataran masyarakat umum. Dalam dunia akademik, kebebasan tentu mendapat ruang
lebih luas lagi. Tanpa kebebasan akademik, tak ada perkembangan ilmu
pengetahuan,” katanya.
Lebih jauh, demikian
Pater Otto, dalam ilmu pengetahuan, tidak dikenal dogma atau jawaban final.
Setiap
pandangan atau teori tertentu dapat saja dilihat dan dikritik dari sisi lain.
“Dan ilmu
pengetahuan hidup dan berkembang lewat proses dialektis seperti itu. Metode yang
dipakai untuk mencari kebenaran ilmiah adalah perdebatan atau diskursus, entah
yg berlangsung dalam seminar seminar ilmiah, simposium, tulisan di jurnal
ilmiah, atau juga koran,” katanya.
Menurut
Pater Otto, perdebatan ide yang ditampilkan oleh Emilianus Yakob Sese Tolo dan
mahasiswa STFK Ledalero adalah bagian dari jalan mencari kebenaran.
Dengan demikian,
masyarakat juga boleh menikmati apa yang diperbincangkan di scientificcommunity
atau komunitas ilmiah.
“Pesan
pedagogisnya, dosen boleh digugat oleh mahasiswa secara publik. Dengan itu,
budaya demokratis yang egalitarian mulai memecah kebekuan feodalisme patriarki
yang masih mewarnai dunia pendidikan kita. Tentu, diharapkan perdebatan itu
didasarkan pada kemauan untuk mencari kebenaran dan belajar satu dari yang lain,”
pungkas dosen filsafat politik yang sedang studi di Australia ini.
Fenomena Baru yang Mesti Dirawat
Calon Pastor Katolik Rio Nanto, SVD
Ketua SEMA
STFK Ledalero Frater Rio Nanto, SVD saat dihubungi Ekora NTT, Rabu (9/10) berpendapat,
perdebatan antara dosen dan mahasiswa STFK Ledalero tentang marxisme di koran
merupakan suatu fenomena baru yang perlu dirawat dalam sistem pendidikan di
STFK Ledalero.
Setiap dosen
dan mahasiswa ditantang berpikir kritis dalam menyikapi sebuah persoalan.
“Sebagai
intelektual progresif, dosen dan mahasiswa idealnya selalu belajar dan tetap
terbuka dengan aneka kritikan. Tentunya entah dosen atau mahasiswa yang
terlibat dalam polemik intelektual itu diharapkan untuk memfokuskan perdebatan
pada substansi persoalan dan bukan pada karakter Penulis,” kata calon imam
Katolik ini.
Soal
Marxisme, Rio Nanto mendukung gagasan Emil bahwa Marxisme menjadi suatu
kemendesakan dalam proses perkuliahan di STFK Ledalero.
Menurut dia,
Marx dalam perspektif filosofis memang gagal membuktikan gagasan bernasnya.
Akan tetapi,
sebagai sosiolog, dia membantu kita menganalisis situasi sosial dan bersikap
kritis terhadap pelbagai ketimpangan ekonomi yang diproduksi oleh sistem
ekonomi yang tidak adil.
Membongkar Habitus Intelektual
Calon Pastor Katolik Anno Susabun
Mahasiswa
STFK Ledalero Semester VII Anno Susabun berpendapat, perdebatan antara dosen
dan mahasiswa STFK Ledalero di koran pertama-tama adalah upaya membongkar
habitus intelektual di Indonesia dan di Flores, khususnya di Ledalero, yang
selama ini lelap dalam glorifikasi terhadap intelektual dan Penulis, takenforgranted terhadap gagasan tanpa sikap kritis.
Selain itu, menurut
Anno, perdebatan ini menjadi upaya membangun tradisi intelektual yang baru,
yaitu dialektika pengetahuan kritis.
Menurut dia,
tradisi baru ini mengonfirmasi hakikat filsafat sebagai keterbukaan terhadap
seluruh realitas, terbuka terhadap pluralitas ide dan gagasan tanpa perlu
alergi terhadap kritik.
“Kampus
akhirnya memiliki warna ilmiah, lepas dari era pra-ilmiah yang mendewakan
kebenaran tunggal (dalam diri dosen). Hal ini penting di tengah maraknya cerita
tentang absolutisme kebenaran dosen di kampus-kampus. Kita akhirnya sadar bahwa
siapa saja boleh mengusung kebenaran yang dianutnya tanpa merasa takut pada
rezim kepastian yang diturunkan dari atas (dosen),” terang Anno.
“Trend” Positif dan Persoalan yang Jauh Lebih Akut
Doni Koli
Sementara
itu, Doni Koli, Mahasiswa sekaligus Ketua Lembaga Pers Mahasiswa STFK Ledalero,
merespons perdebatan di atas dalam sebuah tanggapan yang lumayan panjang
sebagai berikut.
Pertama,
beda pendapat soal Marxisme atau dialektika Marxis dalam perdebatan di antara
dosen dan mahasiswa STFK Ledalero kembali mendudukan keberadaannya sebagai aeropagus bagi bersemainya diskursus,
dialektika, dan antagonisme.
Filsafat sebagai sebuah pencarian akan kebijaksanaan
selalu menuntut manusia untuk senantiasa berpikir dan tidak terjebak dalam doxa
dan kepatuhan prudensial atas hukum dan otoritas (dalam konteks ini dogma,
pemimpin, dosen, atau mahasiswa/i senior).
Pertarungan gagasan yang juga dikertaskan di media online
tersebut juga menjadi semacam pemakluman bahwa STFK Ledalero juga terbuka terhadap
pendapat dan penilaian publik.
“Selain itu, yang jauh lebih penting menurut saya
adalah bahwa polemik dosen-mahasiswa seputar Marxisme adalah pemantik bagi
usaha-usaha kontinual pembelajaran literatur ekonomi-politik Marxis secara
proporsional dan terbuka di STFK Ledalero yang perlu kita akui, masih jauh panggang dari api. Dalam
konteks yang pertama ini, saya boleh menyebut bahwa gelombang demokratisasi
sesungguhnya sedang dihidupi di STFK Ledalero,” kata dia.
Kedua,
tanpa menganggap remeh trend positif
di atas, beda pendapat soal Marxisme sebenarnya sedang menggiring kita menuju
lingkup persoalan yang jauh lebih akut.
Pada level ini, Doni menyebutnya sebagai wilayah
objektif, polemik dosen-mahasiswa soal Marxisme sedang mendudukkan
kendala-kendala tertentu.
Doni menyebut kendala-kendala itu kronis dan parah
dengan beberapa argumen berikut.
Pertama,
adanya
kesenjangan atau gap pemahaman yang cukup besar terkait dialektika Marxis atau
pengetahuan ekonomi politik politik Marxis.
Menurut pembacaan Doni, perdebatan tripolar di antara
Emilianus Yakob Sese Tolo (dosen STFK Ledalaero), Antonius Mbukut (mahasiswa
pasca-sarjana STFK Ledalero), dan Elton Wada (mahasiswa STFK Ledalero) sebagai
dialektika berwatak hierarkis, di mana subjek-subjek yang terlibat di dalamnya
mengakomodasi tingkat pemahaman serta akumulasi pengetahuan yang berbeda-beda.
Di satu sisi, demikian Doni, kita membaca tulisan
Emilianus Yakob Sese Tolo, seorang intelektual yang secara serius menekuni
literatur Marxis dan proliferasinya.
Emil juga pernah dibimbing oleh pakar-pakar ekonomi
politik Marxis dan memiliki partner diskusi yang banyak melahap bacaan-bacaan
seputar ekonomi politik Marxis.
Tak hanya itu, kecakapan teoretis Emil ini juga
didukung oleh keterlibatannya dalam pelbagai jenis penelitian sosial berwawasan
ekonomi politik.
Hal ini dibuktikan lewat beberapa riset sosialnya yang
tersebar di beberapa wilayah Indonesia Timur.
Demikian, reputasi intelektual Emil seputar ekonomi
politik Marxis bisa dibilang sangat mendalam.
Di sisi lain, lanjut Doni, kita juga berhadapan dengan
tulisan Toni dan Elton, dua mahasiswa STFK Ledalero yang secara terbuka
menanggapi tulisan Emil, dosennya.
Tanpa meremeh-temehkan keduanya, Doni cukup yakin
bahwa dapur epistemologi keduanya atau juga saya
dan banyak mahasiswa STFK Ledalero lainnya tentang ekonomi politik Marxis
belum terlampau berisi.
Patut diakui bahwa resources
tentang Marxisme di Ledalero masih dipelajari secara fragmentaris oleh
mahasiswa/i STFK Ledalero.
Para mahasiswa/i masih secara sporadis menjumpai
bacaan-bacaan Marxisme yang tersebar secara acak di beberapa diktat kuliah,
prasaran diskusi, atau seminar.
Sebagian lainnya mungkin mempelajari buku-buku Marx
secara otodidak tanpa pendampingan yang baik dari dosen atau pakar Marxis.
Doni
berpendapat, bahaya dari perdebatan atau dialektika berwatak
hierarkis seperti ini adalah terformulasinya momentum dialektika penuh
simulakrum, domestikatif, dan bahkan
anti-diskursus.
Simulakrum,
demikian Doni menjelaskan, merujuk pada sebuah konteks pemahaman Marxisme yang
mengawang, hyperrealitas, asal-asalan, sempit, dan secara inhheren sedang
membunuh ruh dialektis Marxisme yang progresif dan selaras zaman.
Domestikatif
merujuk
pada mekanisme penjinakan terhadapan dialektika atau antagonisme di mana
mahasiswa beranggapan bahwa dosen (Emil) adalah patron atau ahlidalam pembicaraan seputar Marxis.
Sebagai akibatnya, ada anggapan yang muncul bahwa
ekonomi politik Marxis adalah kecakapan Emil semata-mata yang muskil dimiliki
mahasiswa.
Anti-diskursus
merujuk pada mekanisme pemaksaan konsensus dan apatisme dialogis yang mana
perdebatan itu secara tidak langsung menciptakan deadlock atau kematian sebuah diskursus.
“Sejauh penelusuran saya, tentu tanpa menggeneralisasi, banyak mahasiswa STFK yang menyanjung
reputasi intelektual Emil dan menyimpulkan bahwa tulisan tanggapan atas
tanggapan Emilianus Yakob Sese Tolo (baca Logos, Ledalogos, dan Ledalodima)
atas Toni dan Elton sebagai pertanggungjawaban ilmiah seorang intelektual yang
sudah lengkap, matang, final, dan tidak terbuka untuk diperdebatkan lagi,”
terang Doni.
Menurut Doni, kendala-kendala di atas secara
genealogis sebenarnya tak bisa dibenturkan hanya pada minimnya pengetahuan
mahasiswa tentang Marxis.
Di STFK Ledalero, kendala-kendala objektif itu juga
berkelindan erat dengan minusnya perhatian lembaga ini untuk membumikan
literatur ekonomi-politik Marxis (dialektika, ekonomi-politik, proliferasinya
dalam bentuk Neomarxis, post-marxis dan kritik atasnya) secara proporsional dan
terbuka.
Hal ini umpamanya dapat dirujuk lewat beberapa
indikator seperti kurangnya atau bahkan tidak adanya mata kuliah, dosen, dan
pakar yang secara khusus mewadahi pembelajaran Marxisme di STFK Ledalero.
“Selain itu, STFK Ledalero hingga kini setahu saya,
belum sempat mengutus alumninya untuk mempelajari Marxisme,” sentil Doni.
Dengan
demikian, menurut Doni, akibatnya, Marxisme dipelajari secara
setengah-setengah, fragmentaris, dan terbebaskan dari pandu atau skope yang
jelas.
Bahaya dari model pembelajaran seperti ini adalah
bahwa mahasiswa dapat menerima dan memahami Marxisme secara sempit, ortodoks,
dan syarat akan prasangka negatif.
Marxisme kemudian berpeluang untuk direduksi ke dalam
kerangkeng ortodoksi dengan bumbu-bumbu teror seperti ilmu yang mengajarkan revolusi
berdarah-berdarah, anti pancasilais, anarkis, frontal, anti kitab suci, dan
sebagainya.
Dalam konteks yang lebih luas, demikian Doni, di mana
kita menyaksikkan gelombang kapitalisme dan anak kandungnya neoliberalisme
banyak menguasai hajat hidup manusia, kendala-kendala objektif di atas
sebenarnya turut berkontribusi bagi lenyapnya pertarungan ideologi atau narasi
konfliktual sebagaimana diramalkan penganut paham liberal konservatif, Francis
Fukuyama.
“Di sini, alih-alih memproposalkan perlawanan, kampus,
hemat saya, dapat menjadi tempat strategis bagi mekanisme ontologisasi
kapitalisme,” tegas Doni.
Akhirnya, Doni berpendapat, STFK Ledalero adalah
lembaga yang mendidik calon-calon imam dan awam yang diharapkan mampu membawa
pembebasan dengan mewartakan dan memperjuangkan kebenaran-kebenaran hakiki.
Sebab, menyitir Aquinas, manusia hanya akan menjadi
bebas karena kebenaran.
Demikian, di tengah multitude krisis ekonomi politik
yang dapat kita saksikan secara gamblang di depan mata kita lewat kasus-kasus
seperti korupsi, akumulasi kepemilikan tanah pada institusi atau pihak
tertentu, besaran angka stunting, dan kemiskinan, kita tentu membutuhkan
sebuah kerangka acuan dan perangkat analisis sosial yang dapat membantu kita
untuk menangkap kendala-kendala objektif secara lebih tepat.
Dalam konteks ini, lanjut Doni, pendekatan ekonomi
politik Marxis dapat didialogkan untuk melengkapi pendekatan legal formal,
identetarian, atau moral religius yang selama ini banyak dipakai di STFK
Ledalero.
Menurut Doni, di STFK Ledalero, hal ini dapat dicapai
pertama-tama dengan memurnikan pemahaman yang cenderung reduktif terhadap
Marxisme.
Usaha ini kemudian dilanjutkan dengan keterbukaan STFK Ledalero untuk mengirim alumninya untuk mempelajari Marxisme secara khusus, membuka mata kuliah bertema Marxisme, menggalakkan penelitian sosial interdisipliner yang juga memakai pendekatan ekonomi politik Marxis.
Bajawa, Ekorantt.com – Ordo Karmel Tak Berkasut atau Ordo Carmelitarum
Discalceatorum Indonesia menyelenggarakan kegiatan Family Day di Biara Karmel St. Yoseph, Kelurahan
Susu, Kabupaten Ngada beberapa waktu lalu.
Family Day
kali ini mengusung tema “Di rumah ini, semua harus menjadi sahabat, dicintai,
disayangi dan dibantu”.
Pada acara ini, hadir keluarga para
Imam dan frater berkumpul untuk merayakan Family
Day sekaligus merayakan misa syukur
tabisan tiga imam baru yakni Pater Yonis OCD, Pater Bonar OCD dan Pater Agus
OCD.
Dalam kotbahnya, Pater Agus OCD menjelaskan,
Family Day menjadi momen memperkuat
persaudaraan sejati dalam keluarga besar Ordo Karmel Tak Berkasut. Persaudaraan
ini terjalin baik antara biarawan/wati dalam komunitas maupun dengan
keluarga-keluarga biarawan/wati.
OCD, urai Pater Agus, merupakan rumah.
Di dalamnya orang membentuk persaudaraan dan persahabatan sejati.
Tidak hanya itu, dalam rumah OCD semua
orang dicintai, disayangi dan dibantu dalam semangat cinta Yesus Kristus.
Acara ini menghadirkan keluarga,
khususnya orang tua pastor/frater dari seluruh Indonesia.
Kristoforus Adomai, perwakilan
keluarga dari Pater Adam OCD sangat bersukacita terlibat langsung dan mengikuti
kegiatan Family Day yang
diselenggarakan biara OCD.
“Kami sebagai orang tua terus
mendukung dan berharap anak kami tetap setia dalam panggilannya,” ungkap Kristiforus.
Bagi Kristoforus, kebanggaan keluarga
bukan hanya karena anaknya jadi Imam. Lebih dari itu, orang tua bangga ketika melihat
anaknya melayani sesama umat dan setia dalam panggilan.
Emil hanya coba menggiring opini
publik berdasarkan apa yang ideal dan apa yang diasumsikan dalam pemikirannya
sendiri, tetapi sangat minim dan kurang cermat dalam mengumpulkan dan menganalisis
data lapangan.
Ia terlalu berani membuat opini yang
hebat dengan data penyokong yang rapuh.
Panjang dan bertele-telenya artikel
tanggapan Emil adalah juga salah satu indikasi nyata lemahnya basis argumentasi
Emil sendiri.
Emil coba menghubungkan berbagai persoalan dalam tulisannya, tetapi lupa bahwa setiap persoalan mempunyai konteksnya masing-masing yang begitu kompleks.
Emil juga cenderung menyederhanakan
setiap persoalan hanya dengan modal asumsi.
Saya akan membuktikan kalau Emil adalah seorang
idealis yang hanya membangun argumentasi atas dasar asumsi.
Pertama, berkaitan dengan wacana
tentang marxis.
Wacana tentang marxis yang digaungkan
oleh Emil sangat jelas berangkat dari asumsi Emil bahwa marxis adalah sesuatu
yang baru di STFK Ledalero dan sebelumnya kurang mendapat tempat dalam pergumulan
akademik mahasiswa STFK Ledalero.
Oleh karena
itu, ia coba bergaung di
media agar STFK Ledalero mulai meminati dan menggumuli marxisme.
Hal ini terindikasi dari kalimatnya
“Karena logika dialektika Marxis bersumber pada Marxisme, maka sudah seharusnya
STFK Ledalero meneruskan dan membiarkan para dosen dan mahasiswa mempelajari
marxisme sebagai ilmu dengan bebas dan bertanggungjawab di tengah gelombang
pembrendelan buku-buku berbau Marxis di Indonesia hari ini” (bdk. Flores Pos, 14/9/2019).”
Penggunaan kata “seharusnya” adalah
bukti bahwa Emil merupakan seorang yang idealis dan formalis.
Ia cenderung memaksakan apa yang
diyakininya dan menutup kemungkinan ruang dialog yang sebenarnya “sedang ia
perjuangkan.”
Ia memandang pesimis logika formal,
tetapi kesimpulan di kalimat
akhirnya ini membuktikan bahwa ia juga adalah pengabdi logika formal.
Sebab, ia
begitu menaati premis-premis yang ia bangun sejak awal artikelnya.
Tidak ada dialektika dalam argumentasi
Emil.
Dengan menggunakan kata “meneruskan”
dan “membiarkan”, Emil sebenarnya memaksa STFK Ledalero untuk menjadi mediator marxisme
dan memperingatkan STFK Ledalero agar tidak boleh melarang marxisme.
Argumentasi Emil ini jelas tidak
berdasar.
Kenyataan menunjukkan bahwa sudah
sejak lama STFK Ledalero memberi ruang bagi ilmu marxis dan sudah sejak lama
juga marxisme dipelajari dan diminati oleh mahasiswa STFK Ledalero.
Saya kurang tahu pengalaman Emil
sendiri selama belajar filsafat di Ledalero.
Apakah ia sama sekali tidak pernah
membaca dan mempelajari ilmu marxis?
Kalau memang demikian, sungguh patut
disayangkan.
Emil sepertinya kurang memanfaatkan
kesempatan dengan baik selama studi filsafat di STFK Ledalero.
Sebagai mahasiwa yang sudah hampir enam tahun belajar di STFK Leldaro (4 tahun sebagai filosofan dan hampir 1,5 tahun sebagai teologan), saya merasa bahwa marxis bukan sesuatu yang asing bagi kami dan sudah sering kami pelajari dan kami pakai dalam analisis sosial.
Sejak awal, saya sebenarnya merasa
bahwa wacana yang digaungkan oleh Emil adalah sesuatu yang aneh dan berlebihan.
Emil sepertinya belum menyelidiki tulisan-tulisan mahasiswa STFK Ledalero tentang marxis.
Berdasarkan penyelidikan saya di
komputer perpustakaan STFK Ledalero, sejak tahun 1986, sudah ada mahasiswa yang
menulis skripsi tentang Marx dan sejak tahun 1986-2018 sekurang-kurangnya ada
16 skripsi mahasiswa yang secara khusus mendalami pemikiran Marx.
Ini membuktikan kalau marxis
sebenarnya sudah lama diminati dan dipelajari oleh mahasiswa STFK ledalero.
Oleh karena
itu, asumsi Emil sebenarnya
tidak berdasar dan tidak dapat diterima.
Kedua, berkaitan dengan logos.
Emil sepertinya keliru dalam memahami
logos yang saya maksudkan.
Emil sepertinya terjebak dengan
asumsinya sendiri bahwa logos atau
Sabda yang saya maksudkan adalah logos sebagaimana
yang dipahami oleh para filsuf Yunani klasik,
yaitu logos yang adalah sumber
pengetahuan dan kebenaran dalam dunia.
Lagi-lagi, Emil hanya membangun
argumentasi di atas asumsinya sendiri.
Dengan asumsi logos para filsuf Yunani klasik itu, Emil membantah argumentasi saya dan
menganggap saya sebagai seorang penerawang.
Namun,
Emil sendiri sebenarnya menunjukkan diri sebagai seorang
penerawang.
Ia berpijak di atas argumentasi yang
adalah asumsinya dan berusaha memberi penilaian berdasarkan asumsinya tersebut.
Sabda Allah yang saya maksudkan
adalah Sabda yang hidup yang menjelma menjadi manusia dalam peristiwa
inkarnasi.
Ia adalah Yesus Kristus, Allah yang
menjelma menjadi manusia.
Yesus Kristus adalah sumber spiritual
dan pusat intelektual STFK Ledalero.
STFK Ledalero akan dapat bertahan
hanya apabila sungguh-sungguh berusaha untuk menaati ajaran Yesus, mencontohi
tindakanNya sebagaimana yang terungkap dalam Injil, dan berusaha untuk
melanjutkan karya misi-Nya ke tengah dunia.
Perlu diingat bahwa STFK Ledalero
adalah sekolah Katolik yang mendidik para calon pelayan pastoral.
Dalam pelaksanaan karya misi untuk
mewartakan Injil di Asia, Konferensi Para Uskup Asia pada tahun 1974 menetapkan
tiga model dialog yang harus dibuat oleh Gereja di Asia, yaitu dialog dengan
agama-agama lain, dialog dengan kebudayaan lain, dan dialog dengan orang-orang miskin.
Marxis jelas sangat membantu untuk
memahami akar persoalan kemiskinan di Asia.
Namun, bagaimana marxis menjawab tuntutan agar
mahasiswa STFK Ledalero yang adalah calon pelayan pastoral mampu berdialog
dengan agama dan kepercayaan lain serta berdialog dengan kebudayaan lain di
Asia?
STFK Ledalero jelas membutuhkan ilmu
yang multidisiplin.
STFK Ledalero mesti menggandeng semua ilmu agar para penghuninya semakin mendekati, menggapai, dan serentak mewartakan Sang Sabda ke tengah dunia, bukan hanya menggandeng dialektika marxis sebagaimana yang Emil maksudkan.
Saya juga tidak mengklaim bahwa
perutusan itu terjadi hanya setelah masa studi di STFK Ledalero selesai.
Itu hanya asumsi Emil saja.
Setiap saat, orang dapat mewartakan
Injil.
Bentuk pewartaan yang paling
sederhana adalah dengan kesaksian hidup dan keterlibatan secara nyata dalam
perjuangan untuk mengatasi berbagai masalah sosial dan menjaga keutuhan alam
ciptaan.
Ketiga, berkaitan dengan
persekolahan Katolik.
Bagi saya, pernyataan Emil bahwa “Seminari
Mataloko yang mendapat bantuan 500 juta rupiah dari pemerintah adalah hal yang
patut disesalkan karena Seminari Mataloko didominasi oleh golongan kaya”
merupakan pernyataan yang berlebihan dan tidak berdasar.
Pertanyaannya; apakah Emil mempunyai
data tentang keadaan ekonomi semua siswa Seminari Mataloko?
Apakah Emil pernah membuat penelitian
yang serius tentang ini?
Apa tolak ukur yang dia pakai untuk
menentukan golongan kaya dan tidak?
Bagaimana metodologi penelitiannya?
Emil sangat jelas hanya membangun argumentasi
di atas asumsi.
Menurut saya, argumentasi Emil ini tidak lebih dari argumentasi seorang yang tinggal dalam gua yang menilai bayang-bayang maya sebagai realitas konkret.
Larantuka, Ekorantt.com – Komunitas Nagi Bonsai menggelar aksi bersih-bersih sampah di Tempat Wisata Pemandian Air Panas, Desa Mokantarak, Kecamatan Larantuka, Kabupaten Flores Timur pada Sabtu (5/10/2019) sore.
Adapun beberapa titik pembersihan sampah yang dilakukan oleh Komunitas pencinta Bonsai Flores Timur ini yakni area seputaran halaman depan tempat parkir kendaraan, area di seputaran kolam pemandian Air Panas, dan pembersihan sampah terutama berbahan plastik di boardwalk (jalan papan yang digunakan untuk menyusuri wisata mangrove).
Beranjak dari depan tempat parkir belasan anggota komunitas Bonsai Nagi dengan kelengkapan karung dan sapu menyusuri hutan mangrove mengangkat sampah plastik yang terendap di pasir dan lumpur serta sampah-sampah plastik yang bergelantungan di pohon-pohon bakau di lokasi wisata tersebut.
Aksi ini menurut Densi Kleden, merupakan salah program khusus dari Komunitas Pencinta Nagi Bonsai yang dijadwalkan pada hari Sabtu dan Minggu sore untuk mengunjungi tempat-tempat wisata Flores Timur.
“Dasarnya adalah komunitas ini peduli dengan lingkungan dan kebersihan. Jadi tidak hanya di tempat wisata Air Panas ini yang kita bersihkan, yah. Semisal di Taman Kota atau tempat wisata lain yang kami kunjungipun, jika dilihat ada sampah yang berceceran kami pungut dan meletakannya di tempat sampah. Yang selanjutnya akan menjadi tanggung jawab petugas kebersihan,” jelas Densi.
Ia lebih jauh menjelaskan momen mengunjungi tempat wisata yang diwarnai dengan aksi bersih-bersih sampah ini menjadi momentum pertemuan anggota komunitas Pencinta Bonsai Nagi untuk berdiskusi dan merancang program lanjutan komunitas.
“Anggota kita sekarang adalah rata-rata orang tua dan semuanya sibuk bekerja. Pada Sabtu dan minggu kegiatan kunjungan wisata dan aksi bersih-bersih ini kami gunakan sebagai waktu pertemuan anggota komunitas untuk membahas dan diskusi terkait pelestarian alam dan program kegiatan komunitas kedepan,” paparnya.
Selain sebagai program kegiatan, aksi bersih sampah di tempat wisata ini dilakukan dalam rangka menyambut pagelaran Pameran Seni Bonsai yang dipromotori oleh Komunitas Nagi Bonsai Flores Timur.
“Selama dua bulan belakangan ini aksi bersih-bersih sampah semakin intensif kami lakukan dalam rangka menyambut pagelaran Pameran Seni Bonsai pada bulan Oktober yang akan dilaksanakan selama dua hari, yakni 25-26 Oktober di taman Kota Felix Fernandez. Pagelaran Seni Bonsai ini kami lakukan untuk menyongsong hari Sumpah Pemuda 2019,” kata Densi.
Peserta pameran akan diikuti oleh ratusan para pencinta bonsai Larantuka, Komunitas Bonsai dari Kabupaten Sikka, Lembata, dan Kupang.
Larantuka, Ekorantt.com – Keuskupan Larantuka (mencakup wilayah pelayanan pastoral Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata) menggelar Sidang Sinode VII Tahun 2019. Sidang Sinode berlangsung mulai 10 sampai 13 Oktober 2019 di Paroki San Juan Lebao, Kecamatan Larantuka, Kabupaten Flotim dengan titik pusat kegiatan di Gedung Multievent Hall Orang Muda Katolik (OMK) Keuskupan Larantuka.
Peserta Sidang Sinode diperkirakan berjumlah sedikitnya 400 orang. Peserta tiba di Larantuka, tepatnya di Paroki San Juan Lebao pada Kamis (10/10/2019) pagi. Selama Sidang Sonode, peserta tinggal di rumah umat di lingkungan dan KBG di Paroki San Juan Lebao.
Peserta diundang oleh Uksup Larantuka Mgr Fransiskus Kopong Kung, Pr. Mereka adalah umat yang berasal dari 49 paroki di tiga Dekenat, yakni Dekenat Larantuka, Dekenat Adonara dan Dekenat Lembata. Masing-masing paroki tiga orang terdiri dari dua orang tua dan satu orang muda Katolik.
Peserta lain yang diundang Uskup Larantuka mengikuti Sidang Sinode, yakni para imam, biarawan, biarawati, yang berkarya di Keuskupan Larantuka. Uskup Larantuka juga mengundang keterlibatan dalam kaitan hubungan kemitraan gereja Keuskupan Larantuka dengan Pemerintah Daerah dalam hal ini Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait Kabupaten Flotim dan Kabupaten Lembata. Pada pembukaan dan penutupan Sinode, Uskup Larantuka juga mengundang Bupati Flotim dan Bupati Lembata.
Sementara Polres Flotim, Polres Lembata dan Kodim 1624 Flotim pada pembukaan dan penutupan. Juga mengundang perwakilan dan pengamat dari Keuskupan Maumere dan Keuskupan Agung Ende.
Ketua Panitia Sidang Sinode VII Tahun 2019 Keuskupan Larantuka, RD Bernard Bala Kerans, Pr, mengatakan Sidang Sinode VII Tahun 2019 Keuskupan Larantuka merupakan puncak dari lokakarya dan evaluasi tahun Program Jangka Pendek Tahap (PJPT) II yang sudah diadakan di masing-masing Dekenat.
“Sidang Sinode VII Keuskupan Larantuka digelar mulai tanggal 10-13 Oktober 2019 di Paroki San Juan Lebao Tengah dengan titik pusat kegiatan di gedung Multievent Hall OMK Keuskupan Larantuka,” katanya.
Sesuai jadwal Sidang Sinode VII Keuskupan Larantuka dibuka Uskup Keuskupan Larantuka Mgr Fransiskus Kopong Kung, Pr pada Kamis (10/10/2019) sore pukul 16.00 di Gedung Multievent Hall OMK Keuskupan Larantuka. Pembukaan diawali dengan Perayaan Ekaristi Kudus dipimpin Uskup Larantuka.