Krisis Global, Eufemisme, dan Ketakutan Negara

Oleh: Louis Jawa*

“ Menempatkan 100.000 titik atau gambar tongkat di halaman, menurutnya tidak benar-benar memberitahu pembaca banyak tentang siapa orang-orang ini, kehidupan yang mereka jalani, apa artinya bagi kami sebagai negara” Simeone Landon, Asisten Meja Graphics New York Times

***

Hidup, tak selamanya dalam prestasi dan kegembiraan pesta, ketika pengalaman sakit dan pengalaman kekalahan datang, baik pada saat yang diduga maupun saat yang tidak diduga sama sekali.

Mulanya, kita pun demikian, ketika bulan Januari dan Februari, bahkan Maret, suasana provinsi dan kabupaten kita, seperti normal-normal saja. Berita demi berita seolah-olah seperti imajinasi di hutan belantara yang jauh dari kehidupan kita, meski de facto ia sangat dekat dan siap menerkam kelengahan dan kelalaian masyarakat gagal waspada.

iklan

Badai kehidupan dunia, akhirnya sampai pada hidup kita, pada sendi-sendi persentuhan kehidupan harian, yang biasa-biasa menjadi luar biasa dan terkontrol sangat ketat.

Riak-riak perselisihan dan konflik pada masa Corona Virus Desease 2019 (Covid-19) begitu terasa dan bergema pada negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Italia, tidak terkecuali Indonesia dan India. Begitu mengerikan badai virus ini, ia menghunjam retorika politik yang tidak bisa dipertahankan lagi makna politisnya serentak merenggut nyawa manusia dan menghadang laju perekonomian sebuah negara.

Politik kambing hitam, mempersalahkan orang atau unsur lain di luar diri menjadi begitu banal dalam kehidupan beberapa bangsa, sama seperti koran New York Times (NYT) 24 Mei 2020 mengkritik Presiden Donald Trump atas retorika kekuasaannya. Di bawah judul, “U.S. Deaths Near 100.000, An Incalculable Loss,” Harian NYT menuliskan obituari nama-nama pasien corona yang meninggal akibat pandemi.

Krisis global, demikian kita bisa menyebut situasi dunia saat ini, ketika badai Covid-19 memporakporandakan pelbagai spekulasi normal kehidupan dunia.

Majalah Tempo edisi 13-19 April 2020 merilis berita tentang “Pemutusan Kerja di Tengah Pandemi” dengan kurang lebih 74 ribu perusahaan merumahkan sekitar 1 juta pekerja.

Pemerintah mengeluarkan stimulus Rp401 Triliun yang sebagian besar untuk menopang industri.  Pengangguran menjadi begitu lebih menakutkan lagi ketimbang badai virus jahat ini, menjadi begitu menghancurkan dan meleburkan segala harapan untuk bisa menata kehidupan pribadi, kehidupan kelompok, dan kehidupan bernegara.

Gelombang kesadaran pun terkesan tidak selalu sama untuk beragam konteks kehidupan. Kehidupan kota Jawa menjadi begitu lengang dan mencekam, dan kehidupan kota kecil di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) tetap ramai, bising, dan terus berbaur.

Krisis global nampaknya seperti mimpi yang tidak sama, untuk sebuah tragedi kehidupan yang kasat mata sama persis.

Hembusan baru gerakan “Indonesia Terserah” menghujam kesadaran kritis masyarakat, ketika negara memang dituntut untuk menunjukkan kapabilitasnya di tengah situasi darurat apapun. Seperti pengalaman negara Amerika Serika, negara adidaya, yang kemudian menjadi bumerang baginya, bermula dari eufemisme retorika yang membius masyarakat negaranya sendiri.

Ketika negara-negara berjuang keras untuk melawan penyakit dengan virus yang mematikan, Presiden Donald Trump malah sibuk bermain catur kekuasaan, dengan menyemburkan eufemisme kekuasaan tanpa etika.

Kelengahan negara dan apatisme masyarakat, jelas, sesuatu yang sangat berbahaya dan destruktif. Johan Gottfried (2000,132) menjelaskan, civilisasi sebuah negara yang ditandai oleh lima ciri berikut:

Pertama, kemakmuran masyarakat. Tingkat peradaban negara hanya bisa dibaca dan diukur dalam kriterium ini. Citra negara beradab sering dihancurkan oleh budaya korupsi, penyalahgunaan kekayaan dan aset negara.

Kedua, perlindungan dan jaminan kehidupan dan keamanan bagi seluruh warga masyarakat, seperti anak-anak, orang tua, dan sakit, kaum cacat, orang miskin dan melarat. Warga masyarakat membutuhkan jaminan kepastian kehidupan dan keamanan. Peradaban negara mesti menjamin hal ini.

Ketiga, penguasaan terhadap setiap kekerasan dan potensi-potensi destruktif dalam masyarakat. Negara memiliki hak untuk melumpuhkan terorisme dan mengadakan perang dalam situasi darurat. Namun penggunaan kekerasan senjata terhadap warga sipil dan rekayasa kekacauan dan konflik adalah sebuah pengkhianatan terhadap rakyat.

Keempat, kepastian dan kewibawaan hukum. Harus ada koridor pasti bagi demokrasi, hukum jadi kriterium itu.

Kelima, adanya pembagian dan pemisahan kekuasaan yang jelas antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif.  Carl Schmitt (1888-1985) dalam The Concept of The Political (1927) menghadirkan paradigma keterlibatan warga negara dalam berdemokrasi (baca: proses politik).

Besette, Elster, Habermas, dan Held memandang keterlibatan warga sebagai “roh demokrasi” itu sendiri. Melalui keterlibatan dan pertimbangan warga itulah, bobot legitimasi dalam pembuatan aturan dan kebijakan dapat diukur (Bohman & Rehg, 1997).

Eufemisme kekuasaan, sejatinya dapat dipahami sebagai manipulasi bahasa untuk memperhalus sebuah kenyataan yang sesungguhnya lebih buruk dari yang disampaikan.

Kita pun tidak tahu persis, seperti apa eufemisme kekuasaan itu telah terjadi di provinsi NTT, dengannya kita pun tergerak memperjuangkan civilisasi sebuah kekuasaan birokrasi kita. Ada tiga hal penting dalam gerakan civilisasi di provinsi kita.

Pertama, kekuasaan yang tidak koruptif dan agitatif. Pola kekuasaan kita memang harus bergeser agar tidak terjebak dalam kultus individu dalam beragam corak kerangkeng keburukan. Kekecewaan New York Times atas eufemisme kekuasaan Donald Trump, menjadi sebuah cambuk bagi kehidupan birokrasi kita. Krisis global yang begitu kuat bisa menyapu bersih kemapanan dan kebanggaan hampa kita.

Kedua, memadukan segala potensi dan kekuatan yang dimiliki sebagai sebuah gerakan bersama lintas kekuasaan lokal. Konflik portal perbatasan dua kabupaten yang secara kultural masih disebut ‘Manggarai Raya’ seakan menjadi sebuah tamparan atas makna kolektivitas kesadaran yang dibangga-banggakan namun terpecah karena interese pejabat lapangan.

Ketiga, kampanye menuju kekuasaan semestinya tidak boleh terlalu merasuk dan merusak dinamika optimisme melawan krisis global Covid-19 ini. Memanfaatkan penderitaan dan dukacita untuk naik ke takhta kekuasaan dengan cara yang tidak wajar dan membenarkan segala cara, jelas adalah sebuah malum (keburukan) yang menyesatkan. Peran Bupati incumbent, jelas harus netral dan dengan transparan menyatakan segala kebijakannya untuk masyarakat.

Ada yang hilang, tentunya, entahkah nyawa, pekerjaan ataupun harapan. Namun kita tetap terpanggil untuk tetap berharap dan hidup dalam solidaritas kemanusiaan yang lintas batas dan lintas kepentingan, pada sebuah civilisasi peradaban Provinsi NTT, Provinsi kita.

*Pastor Desa, Pendidik, tinggal di Manggarai

TERKINI
BACA JUGA