Mengendus Sisi Lain Kampus Merdeka

Bernardus T. Beding*

Kampus Merdeka (KM) merupakan salah satu kebijakan Merdeka Belajar (MB) yang diprogramkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) dengan tujuan mendorong dan memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk belajar dan menguasai berbagai bidang ilmu sebagai bekal memasuki dunia kerja. Selain itu, KM memberi kesempaatan kepada mahasiswa untuk mengasah kemampuan sesuai bakat dan minat dengan terjun langsung ke dunia kerja sebagai persiapan karier masa depan.

Program KM telah ditetapkan dalam Peraturan Mendikbud-Ristek No. 3 Tahun 2020 Tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Secara khusus, Pasal 18 berisi pemenuhan masa dan beban belajar bagi mahasiswa program sarjana atau sarjana terapan dapat dilaksanakan: (1) mengikuti seluruh proses pembelajaran dalam program studi pada perguruan tinggi sesuai masa dan beban belajar; dan (2) mengikuti proses pembelajaran di dalam program studi untuk memenuhi sebagian masa dan beban belajar dan sisanya mengikuti proses pembelajaran di luar program studi.

Kehadiran program KM membawa angin segar bagi seluruh insan pendidikan, khususnya jenjang pendidikan tinggi di Indonesia. Kemendikbud-Ristek (2020) menjadikan Program KM sebagai roh pendidikan tingkat Perguruan Tinggi, yakni kemudahan pembukaan program studi baru, perubahan sistem akreditasi perguruan tinggi, kemudahan perguruan tinggi negeri menjadi PTN berbadan hukum, dan hak belajar tiga semester di luar program studi.

Tiga semester yang di maksud, yakni 1 semester kesempatan mengambil mata kuliah di luar program studi dan 2 semester melaksanakan aktivitas pembelajaran di luar perguruan tinggi. Hal ini diwujudkan dalam kegiatan magang/praktik kerja di industri atau tempat kerja lainnya, melaksanakan proyek pengabdian kepada masyarakat di desa, mengajar di satuan pendidikan, mengikuti pertukaran mahasiswa, melakukan penelitian, melakukan kegiatan kewirausahaan, membuat studi atau proyek independen, dan mengikuti program kemanusiaan.

iklan

Artinya bahwa Program KM menghadirkan pembelajaran otonom dan fleksibel dengan orientasi pada tercipta kultur belajar yang inovatif dan sesuai kebutuhan mahasiswa sehingga menghasilkan lulusan yang sesuai perkembangan zaman, kemajuan IPTEK, tuntutan dunia usaha dan industri, maupun dinamika masyarakat. Semuanya boleh dikatakan sangat bagus, link and match.

Sisi lain, Program KM perlu mendapat perhatian khusus dalam dalam pengimplementasiannya. Pertama, substansi KM mengutamakan praktik lapangan (link and matcth) dikhawatirkan akan melupakan atau mengesampingkan tujuan utama pendidikan. Kebijakan ini sangat kental dengan pendekatan pasar untuk kebutuhan industri, bukan untuk membentuk karakter mahasiswa berakhlak mulia, menerapkan nilai-nilai Pancasila, dan cinta tanah air. Dikhawatirkan pula, perguruan tinggi hanya akan melahirkan manusia-manusia pekerja, bukan manusia pemikir yang kritis.

Kedua, butir-butir kebijakan KM masih parsial dan belum menuju titik tujuan yang ingin dicapai, belum terintegrasi dengan tujuan landasan keilmuan, kemampuan berpikir, regulasi, dan filosofi dasar negara serta tatanan beragama.

Ketiga, implementasi KM perlu aturan atau acuan dari pimpinan perguruan tinggi dan antarperguruan tinggi. Acuan berupa peraturan, surat keputusan, buku panduan, petunjuk pelaksanaan, prosedur operasional, dan sejenisnya sangat diperlukan untuk segera diwujudkan. Tanpa panduan dan rambu-rambu yang jelas dari perguruan tinggi yang akan melaksanakan KM, tentu program kegiatan tidak akan berjalan dengan baik.

Keempat, sampai sekarang masih banyak perguruan tinggi yang belum siap menjalankan kebijakan KM. Realitas yang dihadapi, yaitu perubahan mindset (pola pikir) yang masih butuh waktu.

Kelima, penyusunan kurikulum KM di program studi yang tetap mengacu pada KKNI bukanlah pekerjaan mudah. Secara teori memang mudah, dengan mengundang para pakar kurikulum kemudian mencoba menyusunnya. Namun, dalam praktiknya tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Apalagi Kurikulum KKNI di program studi belum lama dilaksanakan, tentu belum dievaluasi dan dikaji oleh program studi secara mendalam dan tuntas sehingga belum diketahui secara pasti kelebihan dan kelemahannya. Menyesuaikan jumlah lebih dari 20 SKS dengan jumlah SKS yang besar perlu kecermatan.

Keenam, kerja sama dengan perguruan tinggi lain bukan persoalan mudah. Perguruan tinggi yang sudah mapan tentu mensyaratkan kerja sama dengan perguruan tinggi lain. Bagi perguruan tinggi yang nilai akreditasi unggul tentu tidak akan menerima mahasiswa yang berasal dari perguruan tinggi yang nilai akreditasi di bawahnya. Hal ini tentu tidak menguntungkan bagi mahasiswa dari perguruan tinggi dengan status akreditasi belum unggul, banyak perguruan tinggi swasta di daerah akan merasakan hal ini.

Ketujuh, perguruan tinggi di daerah akan mengalami kesulitan karena industri dan perusahaan banyak berada di kota-kota besar, terutama di Pulau Jawa. Hal ini mengakibatkan perguruan tinggi di daerah tidak dapat banyak menempatkan mahasiswanya untuk praktik di industri-industri yang ada di wilayahnya karena kemampuan atau daya tampung untuk mahasiswa terbatas. Masih banyak provinsi yang belum siap untuk mengimplementasi kampus merdeka.

Kedelapan, pengambilan mata kuliah menjadi favorit bagi mahasisiwa, baik di prodi dalam perguruan tinggi sendiri atau di perguruan tinggi lain akan mengalami penumpukan jumlah mahasiswa sehingga program studi tidak dapat melayani secara baik karena tenaga pendidik (dosen) di prodi tersebut terbatas.

Kesembilan, pelaksanaan praktik di instansi, industri, atau perusahaan akan bermasalah pada penentuan beban bobot SKS yang sudah ditentukan oleh perguruan tinggi asal. Ada perbedaan antara kebutuhan instransi, industri atau perusahaan dengan panduan praktik yang sudah ditentukan.

Kesepuluh, perguruan tinggi yang telah menggunakan sistem akademik daring terpusat untuk urusan nilai, lembar hasil studi, dan transkrip tidak menjadi masalah, namun bagi perguruan tinggi yang masih belum menggunakan aplikasi siakad terintegratif akan menjadi masalah. Jadi, hanya dapat dilaksanakan pada perguruan tinggi yang sudah mapan serta memiliki sarana yang lengkap.

Kesebelas, dampak pandemi Covid-19 tentu mengakibatkan beberapa aktivitas pembelajaran KM mengalami kandala, terutama kegiatan tatap muka dan kuliah lapangan. Untuk itu, kurikulum harus didesain ke arah virtual. Dengan demikian, mahasiswa tetap memperoleh capaian pembelajaran meski tidak turun ke lapangan. Kurikulum KM disusun harus sejalan dengan kebutuhan pemerintah, masyarakat, maupun industri walau pada masa pandemi seperti sekarang ini.

Keduabelas, penyiapan seluruh program pembangunan sumber daya manusia (SDM), khususnya tenaga pendidik (dosen) sebagai ujung tombak tidak instan dan sebentar. Tanpa SDM penggerak (dosen), program pembangunan SDM Unggul tidak akan berjalan. Perlu persiapan khusus untuk mencetak dosen penggerak.

Penyusunan panduan bersama antarperguruan tinggi dalam pelaksanaan Program KM, membuat pedoman dan kesepakatan kerja sama dengan perguruan tinggi, lembaga, perusahaan, dan industr lain, mensosialisasikan Program KM kepada dosen dan mahasiswa agar memahami program tersebut, memberikan pemahaman kepada dosen tentang dosen sebagai dosen penggerak atau penggiat pelaksanaan KM menjadi hal yang urgensi.

*Penulis adalah Dosen Prodi PBSI Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng

TERKINI
BACA JUGA