Yang Terakhir untuk Para Demagog (3/Habis)

2

Tentang “Logos”

Soal logos, Elton mulai mengutip sumber-sumber asing dalam bahasa Inggris untuk menjustifikasi hoax-nya.

Bagi pembaca yang otaknya tak terlatih mudah percaya terhadap hoax, mereka akan mudah terkesima pada apa yang ditulis seorang sarjana, apalagi sarjana bersangkutan, seperti Elton, merujuk pada sumber berbahasa asing, seperti bahasa Inggris, yang menyilaukan mata pembaca.

Namun, bagi pembaca yang otaknya sudah terlatih, apapun hoax yang ingin ditebarkan Elton tidak mempan membuat mereka tercengang.

Namun, sebelum menguliti hoax Elton dalam merujuk sumber-sumber asing berkaitan dengan logos, mungkin saya, sekali lagi, perlu meluruskan logika formal yang cacat cukup fatal karena terus direproduksi di hampir semua tulisannya sejak di Flores Pos hingga di Ekora NTT.

Dalam tulisannya, Elton menulis demikian: “[b]enar, walau harus diakui logos itu berasal dari Yunani.”

Pernyataan ini sesat.

Logos bisa berasal dari beberapa sumber, jika mengikuti James P.  Werner (2006), yang dikutip Elton sendiri dalam tulisannya, tergantung pada mazhab pemikiran mana yang ada dalam sejarah yang dikutip James P. Werner dari dictionary.com.

Jadi, logos bisa berasal dari sumber tertentu, bergantung pada Mazhab pemikiran tertentu pula; hanya saja kata logos itu berasal dari Yunani.

Lagi-lagi, Elton masih tersesat dalam logika formal yang paling elementer, suatu kekurangan yang harusnya tidak boleh dilakukan oleh mahasiswa sarjana muda Filsafat tingkat akhir.

Setelah melucuti kecatatan Elton dalam menggunakan logika formal dalam kaitan dengan penjelasan tentang logos, saya ingin menunjukkan bagaimana Elton memanipulasi teks bahasa Inggris yang dibacanya.

Dalam tulisannya, Elton menulis demikian: “[m]enurut James P. Werner, logos is defined in a number off different ways. Ia bisa berarti kata, ucapan, pikiran, akal budi, kebenaran, pengetahuan, kebijaksanaan dan sebagainya.”

Tentang kutipan ini, Elton pertama-tama memperkosa teks itu dengan melakukan kesalahan pengutipan.

Kutipan yang benar adalah “logos is defined in a number of ways,” bukan “logos is defined in a number off ways.”

Elton secara kreatif menambah satu “f” pada kata “of” dengan sewenang-wenang yang bisa memberi makna lain atau tak ada makna sama sekali dalam tulisan itu.

Selain itu, Elton menggunting kutipan itu sesuka hati agar sesuai dengan keinginannya agar cocok dengan kalimat yang ditulisnya dengan semena-mena yang mengikutinya setelah kutipan itu.

Jika Elton jujur, harusnya Elton mengutip secara jujur dengan menulis lengkap kalimat yang ditulis James P. Werner demikian: “logos is defined in a number of ways, depending on which school of thought it stems from.”

Setelah kalimat ini, James P. Wener mengutip dictionary.com yang menegaskan bahwa that in pre-Socratic philosophy, it was the principle governing human reasoning about the cosmos. It has also been described as the topics of rational argument or the arguments themselves. In Judaism the logos pertains to divine wisdom, and in Christianity too the word of God is it self captured in translation through human reason. In the Stoic sense of the word it is the source of all activity and generation and is the power of reason residing in the human soul. When we question the logos of phenomenology, are we asking if phenomenology can construct a definitive wisdom, as religions suggest they have done? Or are we suggesting that logos and reason are synonymous and reason is inherent within the human soul as in the Stoic definition? Taking all this into consideration, Logos seems to be a form of understanding that is presentable within the confines of human reason. Yet the definitions also suggest that the nature of the logos always escapes a definitive human rationale”(Dalam kutipan ini, kata dan frase yang di-bold dilakukan oleh saya).

Berdasarkan kutipan ini, logos tidak semena-mena langsung berarti juga kata dan ucapan seperti yang ditulis Elton.

Kata atau ucapan, dalam konteks logos, terutama menurut Kristianitas, seperti sumber yang dirujuk Elton di sini hanya benar jika kata dan ucapan itu berasal dari Tuhan, bukan kata dan ucapan Elton yang lebih banyak menggandung hoax, misalnya.

Selain itu, Elton menulis, “[t]eologi Kristen menyebut divine wisdom of God untuk logos, Yesus.”

Namun, jika merujuk pada sumber yang dikutip James P. Wener, maka yang menyebut divine wisdom itu adalah tradisi Judaism, dan dalam Kristianistas disebut the word of God.

Ketidaktelitian membaca teks membuat Elton lebih cocok menjadi seorang pengarang yang menulis sesuka hati berdasarkan khayalannya, yang jauh dari teks yang dirujuk.

Jika demikian, maka, apa gunanya Elton membaca literatur?

Apakah hanya untuk sekedar memamerkan kepandaian semu?

Hanya Elton sendiri yang bisa menjawabnya dengan jujur, jika Elton mau melakukan itu di hadapan sidang pembaca.

Selain itu, Elton juga mengutip bukunya Ermanno Bencivenga yang berjudul Theories of the Logos (2017), khususnya di halaman satu buku itu.

Dalam tulisannya, dengan mengutip Ermanno Bencivenga, Elton menulis demikian “ketika ilmu berkembang dan semakin otonom, logos ini disebut sebagai diskursus.”

Dalam kutipan ini, Elton sama sekali gagal total memahami teks, yang adalah abstrak untuk buku Ermanno Bencivenga, yang saya yakin Elton hanya membaca abstrak buku ini di halaman satu, bukan isi dari semua buku itu.

Sialnya, hanya membaca abstrak yang hanya beberapa kalimat, Elton masih tersesat, sebuah kekurangan sangat besar bagi seorang yang hampir menyelesaikan sarjana Filsafat.

Saya tunjukan abstract itu secara keseluruhan sebagai berikut: “[l]ogic is typically characterized as a (or the) theory of inference; but that characterization is a biased and restrictive one. Once we understand a logic, instead, as a theory of the logos-that is, of meaningful discourse: of what makes discourse the vehicle of meaning- we open up a field of possible ways of reasoning and arguing that do not reduce to inference. It is within this field that the present book moves.”

Dalam abstrak ini, Ermanno Bencivenga, sama sekali tidak menjelaskan seperti yang ditulis Elton: “ketika ilmu berkembang dan semakin otonom, logos ini disebut sebagai diskursus.”

Sebaliknya, Ermanno Bencivenga ingin memberikan tawaran penjelasan yang baru soal logika yang sejauh ini hanya sebatas teori tentang pengambilan kesimpulan.

Karena tidak puas dengan logika yang demikian, Ermanno Bencivenga ingin memahami logika sebagai teori tentang logos, yakni teori tentang diskurus yang berarti (meaningful), yang membuat diskursus sebagai kendaraan makna.

Jadi, yang dijelaskan oleh Ermanno Bencivenga yang dikutip Elton di halaman satu bukunya itu adalah tentang logika sebagai teori tentang logos, bukan logos yang disebut sebagai diskursus seperti yang ditulis Elton dalam tulisannya.

Namun, saya harus amini bahwa kemampuan Elton membaca masih sangat lemah, bukan saja untuk sumber-sumber dalam bahasa Inggris.

Membaca tulisan saya saja dalam perdebatan ini, Elton banyak kali tidak memahami apa yang saya tulis, lalu mengambil kesimpulan seenak perutnya sendiri dan kadang-kadang kesimpulan yang dibuatnya adalah yang telah disimpulkan oleh saya dalam tulisan-tulisan saya yang didebatnya.

Oleh karena itu, berdebat dengan Elton jadinya seperti berdebat dengan seorang yang kurang waras otaknya, yang tidak bisa memosisikan dirinya secara terang benderang dan konsisten dalam sebuah perdebatan.

Akhirnya, perdebatan itu menjadi debat kusir yang tidak produktif dan membuang-buang waktu saja.

Selanjutnya, menurut Elton, setelah membaca berbagai literatur yang ada tentang logos, Elton menyimpulkan demikian: “logos yang saya pahami adalah logos yang menyatukan Filsafat dan Teologi, ilmu-ilmu lain, dan juga Marxisme.”

Logos jenis ini berasal dari Mazhab pemikiran mana?

Jika lagi-lagi merujuk pada apa yang dikutip Elton, dari tulisan James P. Wener, maka saya tidak menemukan kesinambungan.

Selain itu, kesimpulan Elton ini diletakkan dalam sejarah pemikiran tentang logos seperti apa?

Sebagai seorang akademik, Elton tidak bisa serta merta menarik kesimpulan dari khayalan, sebab Elton tidak sedang menulis puisi.

Elton menulis tentang logos, yang sudah diperdebatkan secara ilmiah dalam sejarah pemikiran.

Elton tidak asal datang dengan kesimpulan yang semena-mena seperti seorang yang menulis sebuah puisi picisan.

Tentang Plekhanov

Ketika membaca bukunya Georgi Plekhanov, Elton membaca versi terjemahan yang berjudul “Masalah-Masalah Dasar Marxisme”(2007).

Tulisan ini bisa diakses secara bebas dan gratis di sini.

Dari sana, Elton dengan sangat percaya diri mengambil kesimpulan-kesimpulan yang membabi buta seolah-olah sudah membaca seluruh karyanya Plekhanov, sebuah kesombongan intektual yang dangkal.

Namun, kesimpulan ini tidak bisa disalahkan sepenuhnya kepada Elton karena dia membaca sebuah karya terjemahan yang dilakukan oleh Ira Iramanto, yang adalah nama samaran dari Oey Hay Djoen, teman akrabnya Njoto, salah satu pemimpin PKI.

Orang-orang seperti Oey Hay Djoen mungkin memandang Marxisme sebagai dogma.

Oey Hay Djoen hanya belajar secara formal sampai umur 15 tahun, dan setelahnya dia belajar secara otodidak dan mengikuti beberapa kursus tentang Marxisme.

Di umur 25 tahun, Oey Hay Djoen pernah menjadi anggota DPRI dari PKI yang kala itu menempati urutan 4 dengan dukungan politik 16,4 persen dari masyarakat Indonesia.

Beliau jugalah yang dikirim ke Pulau Buru bersama Pramoedya Ananta Toer dan dipenjara 14 tahun di bawah Orde Baru.

Dengan latar belakang seperti ini, Oey Hay Djoe memiliki kemungkinan besar untuk melebih-lebihkan dalam terjemahannya untuk teks-teks Marxis yang diyakininya sebagai ideologi.

Hal inilah yang tidak disadari oleh Elton, yang cenderung congkak dalam menulis.

Dengan mengutip karya terjemahan itu, Elton menulis demikian: “Emil sepertinya mengamini Plekhanov dalam bukunya “Masalah-Masalah Dasar Marxisme”(2007), yang mengatakan bahwa “Marxisme adalah suatu pandangan dunia yang lengkap dan menyeluruh.””

Saya tentunya kaget jika seorang Marxis sekelas Georgi Plekhanov menulis kesimpulan demikian brutal yang bertentangan dengan logika dialektika materialis Marxis.

Saya akhirnya mencoba memeriksa sumber dalam bahasa Inggrisnya, yang berjudul Fundamental Problems of Marxism, yang ditulis pada tahun 1907 dan diterbitkan pertama kali dalam bentuk pamphlet di tahun 1908. Di Fundamental Problems of Marxism ditulis demikian: “Marxism is an integral world-outlook.”

Berdasarkan versi Inggris ini, Plekhanov tidak sama sekali menyatakan Marxisme adalah pandangan dunia yang lengkap dan menyeluruh.

Menurut saya, kata integral tidak bisa dibahasaIndonesiakan dalam dua kata, yakni lengkap dan menyeluruh, seperti yang diterjemahkan oleh  Oey Hay Djoen.

Kata integral, sebagai ditunjukkan oleh Oxford Learner’s Dictioneries, memiliki kurang lebih tiga arti, yakni (1) being an essential part of something, (2) included as part of something, rather than supplied separately, dan (3) having all the parts that are necessary for something to be complete.

Dengan demikian, kata integral merupakan sebuah homonim karena kata ini memiliki penulisan dan pengejaan yang sama tetapi memiliki multi arti. Bagi penerjemah yang melihat Marxisme sebagai dogma akan dengan mudah menggunakan arti yang paling menguntungkannya.

Sedangkan bagi yang membenci Marxisme, seperti Elton, akan dengan mudah menggunakannya untuk menuduh Marxisme sebagai orthodoksi yang kaku dan angkuh.

Padahal, menurut pembacaan saya terhadap ilmu Marxisme, Marxisme adalah ilmu yang terbuka sebagai konsekwensi atas logika dialektika materialis Marxis yang menjadi dasar utama dari Marxisme itu sendiri.

Dengan demikian, menurut saya, kata integral harus tetap dipertahankan dan, karena itu, tidak perlu harus diganti dengan dua kata –lengkap dan menyeluruh– yang bisa ditafsir bisa ditafsir secara keliru, apalagi jika penulis yang menafisir itu tidak menulis kalimat setelahnya, seperti yang dilakukan Elton.

Karena itu, menurut saya, kalimat dimaksud, dapat diterjemahkan “Marxisme adalah pandangang dunia yang integral.” Kata integral di sini tidak berarti lengkap dan menyeluruh. Apalagi, jika pembaca membaca kalimat selanjutnya, yakni kalimat yang langsung mengikuti kalimat yang dikutip Elton itu, Plekhanov ingin menjelaskan secara ringkas pernyataannya di kalimat pertama dalam bukunya itu dengan menulis demikian: “Expressed in a nutshell, it is contemporary materialism, at present the highest stage in the development of that view upon the world whose foundations were laid down in ancient Greece by Democritus, and in part by the Ionian thinkers who preceded that philosopher.”

Jadi, dalam kalimat ini, Plekhanov secara sadar menandaskan bahwa materialisme kontemporer ini, yakni Marxisme, pada saat ini, yakni pada saat Plekhanov menulis tulisan itu, merupakan periode tertinggi  dalam pekembangan pandangan tentang dunia yang dasar-dasarnya sudah diletakkan pada masa Yunani Kuno seperti Demokritus dan para Ionian thinkers (pemikir dari Ionia).

Karena Marxisme mencapai periode tertinggi pada masa di mana Plekhanov menulis buku ini di tahun 1907, tidak berarti bahwa Marxisme akan mencapai puncak tertinggi selama-lama-nya (abadi) dalam kaitannya dengan pandangannya tentang dunia, seperti yang dipahami Elton. Logika dialektika materialis Marxis, seperti yang telah saya singgung dalam tulisan saya terdahulu, menegaskan tidak ada sesuatu pun di bumi ini yang abadi, sebab semuanya selalu ada dalam proses perubahan, baik secara gradual dalam hukum evolusi maupun secara revolusioner seperti yang diyakini oleh logika dialektika. 

Dalam keseluruhan buku itu, karena memiliki keinginan untuk menentang para penantang yang mengklaim Marxisme tidak memiliki Filsafatnya sendiri, Plekhanov memberikan porsi penjelasan yang besar soal landasan Filsafat materialis Marxis yang diadopsi dari Feuerbach dan dikembangkan lebih jauh oleh Marx.

Selain itu, dalam buku yang dibaca Elton itu, saya tidak menemukan pernyataan Plekhanov yang menegaskan Marxisme adalah yang paling benar dari seluruh ilmu di bumi ini. Dengan demikian, tidak benar bila Elton, menuduh bahwa Plekhanov mengklaim bahwa Marxisme adalah yang paling benar dari seluruh ilmu yang ada di bumi ini.

Dengan demikian, sekali lagi, menurut saya, terjemahan itu harusnya menjadi demikian: “Marxisme adalah suatu padangan dunia yang integral.”

Terjemahan ini lebih masuk akal.

Sebab, Integral dan paling lengkap-menyeluruh berbeda maknanya.

Kata integral, karena itu, diterjemahkan dengan dua kata –lengkap dan menyeluruh– adalah sebuah terjemahan yang berlebihan dan mengaburkan makna asali dari teks itu.

Namun, lagi-lagi tentang terjemahan itu bukan kesalahan Elton.

Jadi, tidak perlu terlalu mempersalahkannya atas kesalahan orang lain, yang dikutip Elton.

Namun, sebagai seorang intelektual, Elton tetap dipersalahkan karena tidak sadar akan konteks.

Yang menjadi kesalahan penuh Elton adalah ketidaksadarannya atas perkembangan sejarah pemikiran Marxisme itu sendiri dalam pembahasannya tentang buku Plekhanov yang dibacanya.

Dengan ketidaksadaran itu, Elton menulis demikian: “Bagi para pembaca yang teliti, dalam buku itu, Plekhanov membela Marx secara habis-habisan atas kritik yang dituduhkan kepadanya, tetapi nama para anggota Mazhab Frankfurt itu tidak disebutkan sama sekali namanya. Tak ada kritik dari Plekhanov bagi mereka secara terang-benderang. Demikian pun ketika mengkritik saya, Emil tidak memunculkan nama-nama itu. Pertanyaan saya, apakah Emil sudah membaca Teori Kritis para pemikir ini?”

Apa yang ditulis Elton ini adalah sebuah pameran keterbatasan intelektualnya sendiri, jika tak pantas disebut sebagai pameran kebodohan.

Mengapa saya mencap Elton demikian?

Saya akan tunjukkan satu demi satu.

Plekhanov adalah seorang pemikir Marxis Rusia yang lahir pada 29 November 1856 dan meninggal pada 30 May 1918.

Akan tetapi,Mazhab Frankfurt yang dituduh tidak dibaca atau disinggung Plekhanov sama sekali dalam buku yang dibaca Elton baru lahir di tahun 1930.

Jadi, 12 tahun setelah Plekhanov meninggal, karya-karya Mazhab Frankfurt yang “dipaksa” Elton mesti dibaca Plekhanov baru dimulai, dan tentu pada permulaan ini mereka belum menulis banyak hal.

Jurgen Habermas, salah satu yang berpengaruh dalam Mazhab Frankfurt belum bisa membaca dan menulis dan hanya sibuk menyusu pada ibunya, sebab dia lahir di 18 Juni 1929. 

Elton mungkin pernah membaca buku novel Eka Kurniawan (2004), Cantik Itu Luka, yang di dalamnya tertuliskan tentang kisah seorang ibu yang bangkit dari kuburannya setelah 21 tahun kematiannya.

Seperti perempuan tua di novel Cantik Itu Luka-nya Eka Kurniawan (2004), Elton berharap atau bermimpi agar Plekhanov bangkit dari kuburannya setelah 12 tahun kematiannya untuk membaca karya-karya awal Mazhab Frankfurt yang baru berdiri tahun 1930.

Tuduhan Elton terhadap Plekhanov adalah sebuah tunduhan yang konyol dan semena-mena, tanpa dasar, dan hanya datang dari sebuah khayalan murahan.

Lalu, Elton menyinggung dan serentak meremehkan, mengapa saya tidak membahas Mazhab Frankfurt sama sekali dalam tulisan saya?

Saya tidak ingin memberikan kuliah tambahan untuk Elton –yang memiliki kecongkakan intelektual yang barbar– di tulisan ini soal Mazhab Frankfurt.

Apalagi, saya bukanlah sebuah “perpustakaan” untuk seorang Elton, yang dalam tulisannya kelihatannya sudah mengetahui segala hal di dunia ini hanya dari kemampuannya menghayal.

Sebaiknya, saran saya, Elton berhenti menulis dari khayalan saja dan mulai menulis dari apa yang dibaca.

Jika Elton ingin mengetahui alasan mengapa saya tidak menyinggung Mazhab Frankfurt dalam tulisan saya, saya sarankan untuk mulai sekarang bacalah tulisan-tulisan dari Mazhab yang dimaksud dan pasti akan mengetahui mengapa Emil tidak mengutip sedikit pun soal Mazhab Frankfurt dalam tulisannya dalam penjelasannya tentang logika dialektika materialis Marxis secara khusus dan Marxisme secara umum.

Sejatinya, saya ingin memperpanjang komentar saya terhadap beberapa kekeliruan Elton yang lain.

Namun, karena tulisan ini sudah terlalu panjang, saya cukupkan sampai di sini saja.

Apalagi, saya yakin, semua yang saya tulis di sini pasti akan dibantah oleh Elton dengan logika yang dia ciptakan sendiri dari dunia khayalannya.

Oleh karena itu, tulisan ini mungkin akan bermanfaat bagi pembaca yang lain, tetapi bukan bagi Elton, yang watak dan karakter intelektualnya sudah cukup saya pahami dengan membaca dua tulisannya terdahulu di Flores Pos dan Ekora NTT.

Kata Akhir

Tulisan ini menjadi jawaban terakhir saya atas Elton dan Toni dalam perdebatan ini.

Pada titik ini, saya harus mengapresiasi mereka berdua. Saya sangat senang dan bangga atas kepercayaan diri Toni dan Elton.

Namun, sebuah debat ilmiah atau semi-ilmiah, sependek pengetahuan saya, yang mengandalkan kepercayaan diri semata tidaklah cukup.

Anda –para aktor yang terlibat dalam sebuah debat– juga harus menjadi pembaca yang baik dan serius.

Pembaca yang baik adalah pembaca yang tidak seenak perut memanipulasi tulisan lawan debat dan juga tulisan-tulisan orang lain yang dikutip, apalagi sumber dalam bahasa asing yang tidak dengan mudah diverifikasi oleh pembaca Indonesia dan Flores yang masih miskin.

Pembaca serius adalah pembaca yang selain rajin membaca juga secara kritis dan teliti menulis dan meringkas apa yang dibaca agar tidak semena-mena menafsir sebuah bacaan.

Jika orang lebih mengandalkan kepercayaan diri dalam sebuah debat ilmiah dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) seperti yang dilakukan Elton, maka yang diproduksi pasti hanyalah hoax, jauh dari kebenaran dan merugikan perkembangan ilmu pengetahuan yang ingin dibangun dalam debat itu sendiri.

Daripada perkembangan ilmu pengetahuan dipenuhi oleh hoax-nya Toni dan Elton, saya ingin menarik diri dari perdebatan ini.

Jika Toni dan Elton ingin melanjutkan perdebatan ini, itu  menjadi hak mereka berdua.

Saya tidak melarang mereka berdua melakukan itu.

Namun, saya pastikan, saya tidak akan membaca lagi balasan dari tulisan-tulisan mereka itu.

Sebab, setelah membaca tulisan-tulisan mereka yang dipenuhi hoax dan demagogi, saya lebih memilih untuk menepikan diri untuk membaca karya-karya yang lebih berbobot dan jujur.

Meskipun demikian, menurut saya, dalam perdebatan ini, tidak ada yang kalah dan yang menang.

Jika pun ada yang menang, maka pemenang itu adalah Toni dan Elton.

Keberanian dan kepercayaan diri mereka –walau kerap disusup dan disisip hoax– patut diberi apresiasi dan sekaligus memenangi mereka, menurut pandangan saya, dalam perdebatan ini.

Setelah ini, saya tetap menjadi orang yang biasa-biasa saja, yang masih banyak kekurangan dalam banyak hal, termasuk dalam hal menulis, penguasaan ilmu dan teori.

Dengan demikian, tidak menutup ruang kemungkinan bahwa saya –satu saat– akan (terus) belajar dan berguru dari Elton dan Toni serta semua civitas academica STFK Ledalero di tengah kesibukan saya sebagai pembelajar yang masih banyak kekurangan.

*Pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, Flores, NTT

Yang Terakhir untuk Para Demagog (2/3)

0

Tentang Dialektika Hegel dan Marx

Setelah membahas hal yang remeh temeh tentang Elton, saya akan membahas hal yang lebih serius dan substansial dari tulisan Elton.

Dalam menjelaskan dialektika Hegel dan Marx, penjelasan Elton kelihatan seperti seorang yang sedang kesurupan.

Elton menulis demikian: “Benar bahwa dalam Hegel prinsip dialektis tetap tinggal dalam pikiran. Sejarah, alam, dan manusia terus menerus berubah itu disesuaikan dengan pikiran yang juga terus menerus berubah. Marx menerima itu. Akan tetapi, Marx serentak mengawinkan dengan realitas; sejarah, alam, dan manusia dan menjadikannya bercorak ilmiah di atas landasan dan gerakan “material-kebendaan” –dapat disebut kini sebagai ilmu Marxisme.”

Pernyataan Elton ini adalah sebuah hoax terbesar dalam sejarah pemikiran Marxisme di dunia. Saya makin ragu jika Elton sudah membaca seluruh isi bukunya Plekhanov yang dikutipnya dalam tulisannya itu, yang berjudul “Masalah-Masalah Dasar Marxisme.” Di buku ini, Plehanov sudah menjelaskan –bahkan berulang kali dengan formulasi berbeda– dengan sangat tegas perbedaan posisi dialektika Marx dan Hegel serta bagaimana peran Feuerbach bagi lahirnya dialektika Marx.

Inilah akibatnya jika pembaca, seperti Elton, yang mungkin percaya bahwa hanya dengan membaca halaman satu (yang nampak dari hampir semua kutipan Elton di halaman satu di tulisannya yang terakhir) dari sebuah buku, ia akan dapat memahami seluruh isi buku secara magis. Alhasil, pemahaman yang dihasilkan hanyalah sebuah hoax, yang mematikan perkembangan ilmu itu sendiri.

Adalah sesuatu yang sangat tidak masuk akal Marx menyetujui watak dialektika idealistisnya Hegel untuk mendirikan dialektika materialis Marxis sebagaimana –sekali lagi– yang ditulis Elton “sejarah, alam, dan manusia terus menerus berubah itu disesuaikan dengan pikiran yang juga terus menerus berubah. Marx menerima itu.”

Artinya, dengan kata lain, menurut Elton, Marx sejalan dengan dialektika idealis Hegel bahwa Roh Absolutlah yang menentukan perubahan sejarah, alam, dan manusia.

Kesimpulan ini adalah sebuah pemerkosaan yang paling brutal dalam sejarah manusia terhadap ilmu Marxisme.

Yang Marx setuju dari Hegel hanyalah metode dialektikanya, yang kemudian dibalikkannya dari yang bersifat idealis menjadi materialis. Marx, karena itu, sama sekali tidak mengamini watak dialektika idealisnya Hegel untuk kemudian membangun dialektika materialis Marxis, seperti yang ditulis oleh Elton. Justru yang dilakukan oleh Marx adalah pembalikan total atas Filsafat (dialektika) idealisnya Hegel menjadi Filsafat (dialektika) materialis, yang juga diinspirir oleh Filsafat materialisnya Feuerbach.

Sebagai almuni sekaligus pengajar di STFK Ledalero, penjelasan Elton soal Marxisme ini sangat saya sesali karena datang dari seorang yang beberapa bulan lagi akan menjadi seorang sarjana Filsafat dari STFK Ledalero, yang kualitas pendidikannya selalu diagung-agungkan oleh masyarakat NTT.

Saya ingin menjelaskan perbedaan antara Hegel dan Marx secara singkat untuk Elton, yang dalam tulisannya berlagak seperti orang yang sudah membaca seluruh karya Hegel dan Marx walau hanya membaca halaman satu dari bukunya Plekhanov yang dikutipnya itu.

Dialektika Hegel bersifat idealis.

Oleh karena itu, bagi Hegel, ide-idelah yang mengkonstitusi esensi dari realitas dan perkembangan ide-ide jugalah yang mendorong gerak perubahan dalam realitas.

Oleh karena itu, Hegel mereduksi seluruh gerak realitas dunia sebagai penjelmaan tunggal dari Roh Absolut (Absolute Idea) dan terus berkembang menuju kesempurnaan di dalam Roh Absolut, nama lain dari Tuhan versi Hegel.

Dengan demikian, sejarah perkembangan realitas dalam dunia adalah sejarah perealisasian dari Roh Absolut ini.

Dengan demikian, proses historis Hegel tidak bersifat dari yang yang lama menjadi yang baru, tetapi bersifat sirkular dari the original pre-existing abstract idea through nature and society to its ultimate fulfillment in the concrete Absolute Idea(Novack, 1975: 103).   Dengan gerak sirkular seperti ini, bagi Hegel, realitas alam tidak mengalami perkembangan historis yang fundamental, tetapi berada pada posisi yang kurang lebih sama ketika sudah mencapai puncaknya.

Perkembangan masyarakatnya Hegel, misalnya, berhenti pada masyarakat kapitalisme, seperti yang diyakini kaum borjuis.

Dalam bidang politik, di masanya, Hegel sendiri tidak membayangkan ada sistem Negara yang lebih sempurna selain Negara monarki konstitusional.

Baginya, pikiran manusia sudah mencapai puncak dalam perkembangannya dalam sistem Roh Absolut.

Berbeda dengan Hegel, dialektika Marx bersifat materialis.

Namun, Marx tidak sepenuhnyamenolak Hegel.

Benar bahwa Marx menolak watak idealisme dialektika Hegel.

Namun, seperti yang sudah saya singgung di muka, Marx masih menggunakan logika dialektika Hegel, tetapi dalam bentuk dan wataknya yang materialis.

Bagi Marx, konsep-konsep di dalam kepala manusia secara materialistik sebagai gambaran dari realitas dunia daripada melihat realitas alam dan dunia sebagai gambaran dari Roh Absolut.

Dengan demikian, Marx, seperti profesor Vedi Hadiz, guru dari Dr. Otto Gusti Ndegong Madung di Universitas Melbourne, Australia saat ini membalikkan populismenya Laclau dan Mouffe dari kepala ke kaki dan kaki ke kepala, demikian pula Marx membalikkan Hegel dari kepala ke kaki dan kaki ke kepala.

Marx, mengikuti Feuerbach, Roh Absolut-nya Hegel, dalam dirinya sendiri, adalah tidak ada apa-apanya (nothing) kecuali a thing of thought, yakni sebuah ekspresi general untuk proses berpikir dari manusia-manusia riil yang bergantung pada marcapada.

Namun, meskipun demikian, Marx mengakui bahwa Hegel sudah berkontribusi dalam menemukan ekspresi abstrak, logis, dan spekulatif untuk perkembangan sejarah.

Di atas pengakuan itu, Marx ingin menemukan kekuatan dan motif yang riil, yang meliputi alam dan masyarakat, yang bersifat material yang menggerakkan sejarah manusia. 

Lalu, di mana peran dan posisi Feuerbach dalam kaitannya dengan Marxisme?

Marx mendapatkan kritik materialis terhadap Hegel dari Feuerbach dan menaikkan kembali posisi materialisme yang sudah terdegradasi kala itu di Jerman dan tempat lain di Eropa.

Feuerbach-lah orang pertama yang menanggalkan spekulasi fetisistik dari Hegel dan menggantinya dengan materialisme.

Oleh karena itu, Feuerbach adalah orang pertama yang menentang esensi religius dari sistem Filsafat Hegel dan serentak membangun kebenaran material bahwa dunia realitas adalah basis riil pemikiran dan sumber paling ultim dari semua ide-ide (ideas).

Namun, meskipun demikian, Marx, juga Engels, tidak menarik garis posisi intelektual seperti Feuerbach.

Kurang lebih, ada dua persoalan yang Marx persoalkan dari Feurbach.

Pertama, apa yang dipersoalkan Feuerbach dari Hegel bersifat non-dialektik dan serentak merupakan materialisme yang tidak lengkap. Oleh karena itu, Feuerbach mengkritik hanya sebagian dari dialektikanya Hegel.

Kedua, secara umum, Feuerbach adalah seorang materialis dalam pandangan umumnya tentang realitas, tetapi bukan dalam aplikasi spesifik dari materialisme sejarah dan masyarakat. Walau sebagai seorang materialis, dalam kaitannya dengan sejarah, Feuerbach bukan seorang materialis. Sebab, Feuerbach berpendapat bahwa cintalah yang menjadi pengerak sejarah manusia.

Namun, meskipun demikian, sumbangan Feuerbach dalam mengkritik Hegel sangat fundamental bagi evolusi pemikiran Marx untuk materialisme historisnya.

Dengan penjelasan seperti ini, membedakan antara Marx dan Hegel serta posisi Feuerbach, dalam tulisan saya terdahulu, saya menggunakan teologi terlibat Budi Kleden yang sangat kuat dipengaruhi oleh Filsafat proses Alfred North Whitehead untuk menjelaskan soal Logos dalam huruf besar, yang bisa dikatakan sebagai Tuhan, yang idealis sekaligus materialis mengikuti logika dialektika materialis Marxis, A sama dengan A dan non-A.

Logos adalah diri-Nya serentak bukan diri-Nya.

Martin Suryajaya pernah berupaya menjelaskan bahwa Allah materialis adalah “seluruh kemungkinan dan ketidakmungkinan semesta itu sendiri.”

Logos, atau Allah materialis Martin ini, sesuatu yang materialis dan berada antara ruang kemungkinan dan ketidakmungkinan yang ada dalam ruang logis (logical space) manusia. 

Namun, penjelasan Allah seperti ini, yang material murni, tentunya sulit diterima oleh orang beriman, sekurang-kurangnya saya.

Oleh karena itu, saya menggunakan teologi terlibatnya Budi Kleden, yang bertolak dari Filsafat Proses Alfred North Whitehead, untuk menjelaskan Logos yang idealis serentak materialis.

Pada titik ini, saya harus akui, penafsiran terhadapnya bisa membawa kesimpulan bahwa saya ingin menjelaskan sesuatu yang logika materialis Marxis menjadi logika dialektika idealis Hegel. Selain itu, penjelasan seperti ini bisa jatuh pada kesimpulan Spinoza, yang mengeliminasi dualisme antara Tuhan (God) dan alam dunia (Nature) karena dia melihat ekspresi dan tindakan dari Nature adalah dari God, yang menjadi dasar dari keberadaan Nature.

Namun, saya ingin menjelaskan tentang persoalan ini secara lebih jauh sebagai berikut.

Seperti yang ditulis oleh Kleden (2002: 34), Logos, yang dalam hal ini dipahami sebagai Allah, “dalam fungsinya sebagai penggerak dan pengarah proses penjadian diri tidak dapat dilihat sebagai substansi yang sempurna. Peran berkaitan dengan objek-objek abadi ini baru merupakan suatu sisi dari Allah yang disebut sebagai the primordial nature atau hakikat awali. Tanpa Dia proses penjadian akan kehilangan awalnya dan tidak akan ada arti yang dimunculkan dari dunia yang konkret. Tetapi Allah bukan hanya yang merupakan awal, Dia juga adalah akhir dari segala sesuatu. Ungkapan ini mendapat interpretasinya di dalam Filsafat organisnya Whitehead. Karena Allah sebagai dasar kemungkinan segala satuan aktual menyertai satuan aktual itu dalam proses penjadian dirinya, maka mesti diandaikan pula pengaruh balik dari satuan aktual terhadap Allah. Tidak hanya berpartisipasi di dalam Allah melalui objek abadi, Allah pun berpartisipasi di dalam dunia karena informasi yang diberikannya untuk Allah. Prehensi Allah atas dunia pun bersifat konstitutif bagi Allah, sebagaimana bagi dunia prehensi atas Allah menjadi bagian penting dalam proses pembentukan dirinya. Sisi lain dari Allah adalah the consequent nature atau hakikat akhiri yang menerima dan menampung segala yang diberikan oleh semua satuan aktual. Dia adalah tujuan bersama seluruh universum. Dia menjamin bahwa tidak sesuatupun yang hilang begitu saja.”

Dengan penjelasan Kleden (2002) yang panjang ini, jelas bahwa Allah dalam pengertian ini sangat berbeda dengan Roh Absolut atau Allah-nya Hegel yang dianggap sempurna, dan juga berbeda dari Allah-nya Spinoza yang dilihat sebagai subyek dan alam dilihat sebagai predikat.

Allah-nya Kleden (2002) yang dipengaruhi oleh Filsafat Proses Whitehead adalah Allah yang tidak sempurna, yang senantiasa berproses dalam komunikasi dan relasi-Nya dengan dunia. Allah-nya Kleden, karena itu, berbeda dengan Allah-nya Spinoza, karena Dia adalah subyek sekaligus predikat, dan, di hadapan Allah-nya Kleden, Nature, sama seperti God, adalah serentak predikat dan subyek.

Allah Kleden yang tidak sempurna, yang menurut, saya adalah serentak realis dan idealis berbeda dengan Allah-nya Hegel yang idealis dan sempurna, dan juga Allah-nya Spinoza yang adalah semata sebagai subyek.

Allah-nya Kleden, yang adalah serentak realis dan materialis, subyek serentak predikat, adalah Allah yang membutuhkan dunia dan dunia tidak dilihat sebagai sesuatu yang tidak hidup (lifeless).

Relasi keduanya adalah adalah saling mengisi dan melengkapi (subyek sekaligus predikat) tanpa ada peremehan terhadap yang lain.

Sebaliknya, bagi Hegel, dunia realitas adalah mode eksistensi yang tersebar yang tidak hidup (lifeless) yang bertentangan dengan gerakan abadi dan interkoneksi universal  yang hidup (lively), yang melekat secara inheren dalam Roh Absolut.

Dengan demikian, menurut saya, adalah kurang tepat bila analisis saya di tulisan saya terdahulu langsung disebut sebagai analisis berdasarkan dialektika Hegelian.

Sebab, saya sadar secara teoritik, sebelum menarik garis posisi itu dan, karena itu, tidak semena-mena meletakkan posisi intelektual saya dari sebuah khayalan personal yang jatuh dari surga, yang sering dibuat Elton dalam tulisan-tulisannya.

Mereka yang menuduh seperti ini, termasuk Elton, adalah orang-orang yang mungkin tidak terbiasa membaca pemikiran secara serius dengan melihat variasi-variasi kecil yang penting dalam sebuah evolusi pemikiran dalam sejarah Filsafat.

Namun, saya sadar, Elton mungkin baru belajar membaca tulisan-tulisan Filsafat yang berat dengan berbagai detail-detail kecil yang rumit.

Dalam pembacaan literatur dalam bahasa Inggris, Elton juga banyak melakukan pereduksian terhadap makna literer dari tulisan, yang mengarah pada pemerkosaan terhadap makna teks asli, yang akan saya tunjukkan kemudian dalam tulisan ini.

Namun, meskipun demikian, saya begitu salut dengan arogansi intelektual Elton bak seorang ahli Filsafat yang sudah menguasai beberapa bahasa asing dengan baik dan sudah membaca seluruh pemikiran Filsafat yang sempat hadir di dunia ini. (bersambung…)

Yang Terakhir untuk Para Demagog (1/3)

0

Oleh Emilianus Yakob Sese Tolo*

Sebelum saya melanjutkan perdebatan ini, secara ekonomi politik Marxis, saya ingin meletakkan aktor-aktor yang terlibat dalam perdebatan ini dalam rantai relasi produksi di STFK Ledalero.

Bagi saya, pemetaan posisi ekonomi politik para aktor yang terlibat dalam perdebatan ini sangat penting untuk melihat bagaimana posisi mereka dalam rantai relasi produksi di STFK Ledalero mempengaruhi produk pikiran mereka.

Posisi ketiga aktor dalam perdebatan ini adalah sebagai berikut.

Meskipun Elton adalah seorang mahasiswa Filsafat semester 7 STFK Ledalero, dia merupakan anggota resmi Serikat Sabda Allah (SVD).

Karena Elton adalah anggota serikat SVD, maka Elton adalah pemilik sah STFK Ledalero.

Dengan demikian, dalam kacamata ekonomi politik Marxis, Elton adalah kapitalis dalam pasar kapitalisme pendidikan di Flores.

Toni adalah mahasiswa pasca sarjana STFK Ledalero, yang merupakan pemakai komoditas pendidikan yang ditawarkan Elton.

Toni merupakan konsumer di pasar kapitalisme pendidikan yang menikmati jasa pelayanan komoditas pendidikan yang ditawarkan oleh STFK Ledalero.

Saya sendiri adalah pengajar awam (non-pastor dan/atau non-romo) di STFK Ledalero yang berkonsentrasi mendidik calon imam dan awam Katolik yang handal.

Dalam rantai relasi produksi, saya adalah buruh, yang menjual tenaga saya ke Elton, sebagai pemilik STFK Ledalero, untuk dapat mereproduksi diri alias bisa makan dan minum untuk mempertahankan hidup.

Secara ekonomi politik Marxis, posisi kami dalam rantai produksi ini –entah sadar atau pun tidak– terefleksi dalam bangunan argumentasi yang kami bangun.

Oleh karena itu, dari pada berpanjang kata, saya ingin memulai membahas argumentasi dari masing-masing aktor, terutama dua aktor yang adalah lawan debat saya saat ini.

Untuk Toni

Saya ingin memulai dengan membalas tulisan Toni yang terakhir di Ekora NTT. Selain lebih mudah, Toni jauh lebih jujur dari Elton dan tidak membuat kesalahan-kesalahan fatal seperti Elton, yang tulisannya di Ekora NTT dipuji banyak pihak yang otaknya kurang terlatih.

Oleh karena itu, pembahasan saya terhadap Toni menjadi sangat singkat.

Saya menyadari bahwa Toni kerap kali kurang memahami apa yang saya tulis.

Persoalan yang masih dibahas oleh Toni dalam tulisannya, sejatinya, menurut saya, sudah saya klarifikasikan pada tulisan saya terdahulu di Ekora NTT maupun tulisan-tulisan lainnya, yang mungkin belum dibaca Toni. Saya tidak akan mengulanginya di sini untuk tidak memboros waktu, tenaga, dan ruang polemik ini sendiri. Apalagi, ketidaktahuan Toni akan apa yang pernah ditulis dalam sejarah bukanlah kesalahan dan tanggung jawab saya, melainkan kesalahan dan tanggung jawab pribadinya sendiri.

Akibatnya, jawaban dalam tulisan-tulisan Toni dangkal dan tidak produktif.

Namun, saya hanya akan menanggapi satu hal yang saya kira penting untuk diklarifikasi berkaitan dengan  Marxisme di STFK Ledalero.

Toni menulis demikian:

“Berdasarkan penyelidikan saya di komputer perpustakaan STFK Ledalero, sejak tahun 1986, sudah ada mahasiswa yang menulis skripsi tentang Marx dan sejak tahun 1986-2018 sekurang-kurangnya ada 16 skripsi mahasiswa yang secara khusus mendalami pemikiran Marx. Ini membuktikan kalau Marxis sebenarnya sudah lama diminati dan dipelajari oleh mahasiswa STFK ledalero. Oleh karena itu, asumsi Emil sebenarnya tidak berdasar dan tidak dapat diterima.”

Saya sama sekali tidak menolak data yang dihadirkan Toni walau saya tidak perlu mengecek lagi data yang Toni tampilkan.

Saya sendiri, dalam tulisan-tulisan saya terdahulu, tidak pernah menulis bahwa Marxisme tidak pernah dipelajari dan diminati oleh civitas academica di STFK Ledalero.  Di tulisan saya di Flores Pos terdahulu, saya menulis demikian, “[…] sudah seharusnya STFK Ledalero meneruskan dan membiarkan para dosen dan mahasiswa mempelajari Marxisme sebagai ilmu dengan bebas dan bertanggung jawab […].” Bagi pembaca yang teliti dan terlatih otaknya, mereka akan deengan mudah memahami bahwa kata meneruskan dalam kalimat yang dikutip di sini mengandung arti seperti yang disimpulkan Toni dalam tulisannya yang terakhir di Ekora NTT.

Meskipun demikian, saya secara implisit menegaskan pengajaran Marxisme di STFK masih kurang, yang juga ditegaskan oleh beberapa mahasiswa STFK Ledalero dalam wawancara mereka di Ekora NTT.

Jika saya merujuk pada data yang ditampilkan oleh Toni bahwa dalam waktu 32 tahun, sejak 1986-2018, hanya 16 mahasiswa mendalami Marxisme, maka data ini membenarkan kesimpulan saya dan mahasiswa STFK Ledalero yang lain bahwa Marxisme masih kurang didalami oleh civitas academica di STFK Ledalero.

Bayangkan saja, jika setiap angkatan  sejak 1986 berjumlah 50 orang, maka hingga 2018 terdapat 1.600 mahasiswa.

Dari 1.600 orang mahasiswa ini, hanya 1% mahasiswa STFK Ledalero yang mendalami Marxisme dalam kurun waktu 32 tahun itu.

Angka 1% itu, dalam 32 tahun, merupakan angka yang kecil dan tidak signifikan sama sekali.

Soal-soal lain yang ditulis Toni, saya  pikir, saya tidak perlu menanggapinya karena tidak terlalu penting.

Sebab, Toni menulis dan menyoal sesuatu yang kurang dia pahami dengan baik.

Ketidakpahaman itu mungkin disebabkan karena Toni, sebagai pemakai komoditas yang ditawarkan di pasar kapitalisme oleh STFK Ledalero, sudah terhegomonisasi –seperti dalam konsep hegemoni Gramsician (1971)– oleh derap agenda kultural kapitalis dari pemilik STFK Ledalero –yang dalam hal ini adalah juga Elton sendiri– yang direcoki atasnya ketika belajar di STFK Ledalero.

Saya sendiri memang pernah belajar di STFK Ledalero, pernah terhegemoni oleh agenda kultural kapitalis ini, tetapi saya berhasil membebaskan diri dari hegemoni itu setelah berkuliah di UGM, Yogyakarta, dan Universitas Melbourne, Australia.

Saya cukupkan pembahasan tentang Toni dan, karena itu, saya ingin membahas hal yang lebih penting dan krusial yang ditulis oleh Elton.

Untuk Sang Demagog, Elton

Sebagai seorang kapitalis yang memiliki STFK Ledalero, pendapat Elton bias terhadap kepentingannya sendiri.

Sialnya, pembiasan itu berhiaskan watak kikir-licik yang menjadi ciri dominan kapitalis,  pembohongan –termasuk dalam “pemerkosaan”dan pemalsuan rujukan sumber bahasa Inggris–  dan pemanipulasian konsep dan pemikiran kunci dari Marx.

Dengan watak licik yang terakumulasi dalam seluruh pemikiran Elton, maka tidak terlalu keliru jika saya mengecapnya sebagai seorang demagog, penyebar kebohongan.

Kebohongan itu diproduksi dan direproduksi untuk kepentingan kesombongan intelektualnya dan profit STFK Ledalero dalam rantai relasi produksi kapitalis.

Demogogi yang disebar Elton akan saya kuliti satu-satu.

Saya akan memulainya dengan menunjukkan demagogi yang remeh-temeh sampai kepada yang substansial dari tulisan Elton.

Watak licik-kikir seorang Elton sebagai kapitalis tampak –walau tersamar– dalam tulisannya.

Licik, dalam konteks tulisan Elton, adalah mencari pembenaran dengan menghalalkan segala cara, termasuk dengan menyebar demagogi.

Kikir, lagi-lagi dalam konteks tulisan Elton, berarti ingin mencari keuntungan setinggi-tingginya dengan tidak rela memberi sedikit makanan mewah bagi buruh, dalam hal ini saya, yang telah turut menyukseskan kegiatan tertentu, yang secara tidak langsung berdampak pada peningkatan profit bagi Elton.

Dalam tulisannya, Elton menulis demikian:

“Ada banyak hal yang masih ingin saya perdebatkan, tetapi, saya cukupkan dulu, termasuk data-data yang harus Emil tunjukkan tentang buku-buku tua, yang kata Emil hanya buku-buku tua, tentang demonstrasi mahasiswa yang sayangnya Emil sendiri sebagai dosen kurang perhatikan lebih jeli, soal waktu pelaksanaan demo itu yang bertepatan dengan acara pesta emas yang padat dan melelahkan dan Emil sendiri selalu setia hadir di sana, makan minum dengan bebas-merdeka, tanpa pernah turun ke lapangan bersama anggota PMKRI Maumere […]”

Tuduhan Elton di atas tentu mengandung banyak kebohongan.

Tulisan Elton telah “memperkosa” hampir di seluruh bagian tulisan saya, termasuk dalam kutipan ini.

Ada beberapa hal yang ini saya garisbawahi dari kutipan di atas.

Pertama, saya sama sekali tidak mengatakan Perpustakaan STFK Ledalero hanya mengoleksi buku-buku tua.

Ini adalah sebuah pereduksian yang barbar dari pernyataan saya dalam tulisan terdahulu.

Yang saya katakan adalah perpustakaan di STFK Ledalero didominasi oleh buku-buku tua.

Sebagai seorang yang dalam tulisannya berlagak sebagai seorang yang sangat paham dan menguasai logika formal, Elton gagal memahami hal yang paling elementer dari logika formal itu sendiri, yakni pengertian sebuah kata, yang merupakan unsur dari keputusan.

Sebab kata, seperti yang ditulis oleh Lanur (1983: 14), “adalah tanda lahiriah (ucapan suara yang diartikulasikan atau tanda tertulis) untuk menyatakan pengertian dan barangnya.”

Pada titik ini, Elton tidak memahami sama sekali kata didominasi dan, karena itu, mengambil kesimpulan yang cacat.

Kata didominasi dalam konteks buku di Perpustakaan STFK Ledalero tidak berarti bahwa di Perpustakaan STFK Ledalero hanya terdapat buku-buku tua yang disimpulkan Elton.

Kata didominasi di sini berarti Perpustakaan STFK Ledalero memiliki buku-buku baru dan buku-buku tua, tetapi buku-buku tua lebih banyak dari buku-buku baru.

Elton juga kembali mengulangi kesalahan terdahulu, sebagaimana dia tidak bisa membedakan antara kata seharusnya (should) dan harus (must), tetapi tidak mengakui kesalahannya itu dengan kembali berdalil macam-macam untuk membenarkan dirinya. Namun, sayangnya, pembenarannya seperti itu hanya meyakinkan orang-orang yang otaknya kurang terlatih. Bagi mereka yang memiliki otak yang terlatih, pembenaran Elton itu hanyalah sebuah pameran keterbatasan intelektual dari seorang mahasiswa sarjana Filsafat, yang belum kelar memahami hal-hal yang paling elementer dari logika formal yang diajarkan di semester satu.

Oleh karena itu, Elton, sebagai seorang mahasiswa Filsafat semester 7 yang dalam beberapa bulan ke depan akan menyandang gelar sarjana muda Filsafat dari STFK Ledalero, tidak memahami hal paling elementer dari logika formal ini adalah sebuah “tamparan keras” bagi mutu dan kualitas pendidikan di STFK Ledalero, yang cenderung diagungkan terlalu tinggi oleh masyarakat NTT, mahasiswa STFK Ledalero, dan para alumninya.

Jika saya seorang Elton, yang melakukan kesalahan remeh temeh seperti ini –yang jarang dilakukan oleh para petani kecil tak mengenyam pendidikan formal di Flores yang sering saya wawancarai dalam penelitian lapangan saya– di hadapan sidang pembaca sebuah koran lokal di Flores, maka saya akan dengan berani “memenggal” kepala saya sendiri.

Kedua, Elton menulis bahwa “waktu pelaksanaan demo [mahasiswa Sikka] itu yang bertepatan dengan acara pesta emas [STFK Ledalero] yang padat.”

Bagi Elton, acara pesta emas STFK Ledalero adalah alasan utama tidak terlibatnya mahasiswa/i STFK Ledalero dalam demo yang diselenggarakan oleh mahasiswa Sikka di Maumere.

Alasan ini merupakan hoax terbesar yang dibuat Elton untuk membenarkan ketidakprogresifan mahasiswa STFK Ledalero (kecuali beberapa mahasiswa PKK STFK Ledalero yang diajar oleh saya) dalam merespons persoalan rakyat Indonesia berhadapan dengan agenda akumulasi kapital kaum oligark Indonesia, yang mempreteli KUHP dan institusi KPK.

Acara puncak pesta pesta emas STFK Ledalero dilaksanakan dari 4 September 2019 sampai pada upacara ekaristi pada 8 September 2019, yang diisi oleh beberapa acara seperti pertandingan sepak bola, seminar internasional dan pementasan budaya.

Namun, demonstrasi mahasiswa Sikka di Maumere, yang merupakan aliansi dari berbagai elemen mahasiswa dan masyarakat sipil seperti PMKRI, GMNI, HMI, IMM, dan PERWAKAS (bukan hanya PMKRI seperti yang diklaim Elton yang kemampuan penelitian sosialnya minim, tetapi berambisi membawa Filsafat ke medan penelitian sosial) terjadi pada tanggal 26 September 2019.

Oleh karena itu, terdapat rentang waktu 18 hari, 432 jam, dan 25.920 menit antara acara pesta emas STFK Ledalero yang berpuncak pada tanggal 8 September 2019.

Terbelitnya logika formal dalam diri Elton terlalu parah sehingga mengarang cerita yang terlalu jauh berjarak dari kebenaran.

Hoax yang disebarkan oleh Elton –karena itu– terlalu brutal untuk melegitimasi ketidakpedulian mahasiswa STFK Ledalero dengan persoalan rakyat Indonesia.

Filsafat –sebagai ilmu yang dipelajari Elton– adalah ilmu untuk mencari dan serentak mewartakan kebenaran.

Di tangan Elton, sayangnya, Filsafat “terjun bebas” dari tujuan asalinya menjadi ilmu untuk melegitimasi kesalahan serentak mewartakan kebohongan alias hoax demi akumulasi kesombongan intelektual Elton sebagai seorang mahasiswa dan profit STFK Ledalero yang dimiliki Elton sebagai seorang kapitalis.

Tentu saja, hoax Elton ini, bukan tanpa alasan.

Di pesta emas STFK Ledalero, di tanggal 8 September 2019, di puncak acara pesta emas STFK itu, Negara –dalam hal ini pemerintah NTT– memberikan sumbangan 500 juta rupiah untuk STFK Ledalero.

Pemerintah NTT cenderung bersikap membela Jokowi yang ragu-ragu mengambil keputusan di tengah tuntutan demo mahasiswa NTT berkaitan dengan UKPK dan RKUHP. Sikap pemerintah NTT, dalam hal ini gubernur Viktor B. Laiskodat, ini mungkin saja membuat Jokowi akan memilihnya menjadi salah satu menteri di kabinet jilid dua Jokowi.

Oleh karena itu, mahasiswa STFK Ledalero –terutama Elton yang dalam hal ini adalah mahasiswa sekaligus pemilik STFK Ledalero– takut jika keterlibatan mereka dalam demo, dapat mencegah aliran dana segar dari Negara untuk membantu proses akumulasi profit yang dapat dilakukan oleh STFK Ledalero.

Dengan demikian, alih-alih menuliskan kebenaran, Elton –sebagai seorang kapitalis– menebar hoax demi akumulasi kapitalnya. 

Ketiga, Elton menuduh saya hanya mempertontonkan sebuah verbalisme dalam kaitannya dengan demo mahasiswa Sikka.

Ini adalah keterbatasan Elton dalam melakukan penelitian sosial.

Jika Elton memiliki minat besar dalam mendorong Filsafat ke medan penelitian sosial, Elton seharusnya tidak hanya bicara karena memiliki mulut atau menulis karena memiliki pensil dan kertas atau layar laptop dan/atau komputer yang kosong di hadapannya.

Sebagai dosen di PKK STFK Ledalero semester satu, sejak awal kuliah untuk dua mata kuliah –Sosiologi Pembangunan dan Kewarganegaraan-HAM– saya sudah mendorong dan menginformasikan kepada mahasiswa/i saya untuk melakukan demo apa saja ke depan dan berhak meninggalkan kelas yang saya ajar jika ingin terlibat dalam demo apa saja sepanjang semester satu berlangsung di tahun 2019.

Bagi yang terlibat dalam demo, saya akan memberikan poin lebih untuk nilai akhirnya.

Sehari sebelum demo mahasiswa Sikka di Maumere, yakni pada tanggal 25 September 2019, saya menulis di grup WAG dosen STFK Ledalero sebagai berikut:

“Di dua mata kuliah saya di program PKK STFK Ledalero (Sosiologi Pembangunan dan Kewarganegaraan dan HAM), sejak awal kuliah saya dan mahasiswa sudah membuat kesepakatan, bukan saat demo-demo mahasiswa hari ini. Hal ini bisa dicek sendiri ke mahasiswa saya. Kesepakatannya adalah ‘bagi mahasiswa yang ingin ikut demo boleh tinggalkan kelas saya, tetapi mengirim foto sebagai tanda mengikuti demo dan bersedia memberikan sharing berkaitan dengan demo di kelas untuk pertemuan berikut. Dan, mengikuti demo akan mendapat nilai plus untuk nilai yang baik di akhir semester.’ Ada kabar bahwa besok ada demo di Maumere. Pasti akan ada mahasiswa  saya turun demo. Yang tidak turun demo akan mengikuti kegiatan belajar seperti biasa di kelas.”

Apa yang saya tulis ini bisa diverifikasi Elton dan pembaca yang lain, bukan hoax, seperti yang kerap kali dilakukan Elton dalam tulisannya.

Sebab, saya –sejak belajar menulis– selalu berusaha untuk menulis tentang hal yang benar dengan cara yang berani, yang kadang-kadang merugikan saya sendiri.

Ada dua dosen yang berkomentar di grup WAG dosen STFK Ledalero dengan menulis demikian.

Salah satunya menulis demikian: “[d]emo itu bisa saja dibuat. Hal yang perlu sebelum berdemo adalah para mahasiswa mesti tahu apa tujuan mereka berdemo dan apa substansi perjuangan mereka, sehinggga tidak terkesan asal turun demo. Dalam kaitan dengan demo menolak beberapa undang-undang yang baru disahkan oleh DPRI, para mahasiswa diminta untuk membaca undang-undangnya terlebih dahulu, sehingga mereka memiliki pengetahauan dan bisa berargumentasi ketika ditanya oleh pihak lain.”

Dosen yang lain menulis bahwa “[y]ang bisa mengijinkan mahasiswa ikut demo ini adalah institusi atau dosen? Saya setuju dengan masukan [dosen A] agar mahasiswa diberi pemahaman dan pembekalan tentang  isi atau tema demo itu sendiri.”

Terhadap dua komentar dosen STFK Ledalero  ini, saya tidak meresponsnya karena saya merasa tidak perlu.

Dengan demikian, tuduhan implisit Elton bahwa saya hanya mengkritik mahasiswa STFK Ledalero dan tidak melakukan apa pun adalah tuduhan yang sewenang-wenang dan tidak berdasar, yang hanya dideduksi dari khayalannya yang licik.

Sebagai seorang yang mencintai kebenaran melalui logika materialis Marxis, saya ingin bertindak demokratis.

Saya tentunya tidak bisa seenak perut meninggalkan kelas karena dua alasan.

Pertama, dalam memperkenalkan Marxisme, saya  harus bertindak demokratis dengan kesepakatan bersama di kelas. Belajar dari sejarah, Marxisme dan demokrasi harus berjalan seiring sejalan jika tak ingin mengulangi kekeliruan di masa lampau (di beberapa negara yang pernah ingin menjadikan Marxisme sebagai ideologi negara) di kelas saya yang mana saya mengajarkan marxisme sebagai ilmu. Atas alasan dan pertimbangan ini, saya secara sadar tidak bisa meninggalkan kelas karena saya  harus mengajar dan mengakomodasi keinginan mahasiswa/i lain yang tidak ingin mengikuti demo dimaksud.

Kedua, saya mematuhi kontrak kerja saya dengan STFK Ledalero, bahwa saya tidak seenak perut meninggalkan kelas karena saya dibayar untuk mendidik mahasiswa baik di kelas maupun di luar kelas.

Namun, di kontrak kerja saya, saya tidak melihat tulisan dan/atau pernyataan bahwa dosen tidak boleh mengizinkan mahasiswa/i-nya berdemo.

Oleh karena itu, saya mengizinkan mereka berdemo.

Apalagi, dengan demo yang dimaksud, dua hari kemudian, pada tanggal 28 September 2019, tiga mahasiswa saya yang mengikuti demo mahasiswa Sikka pada tanggal 26 September 2019 mempresentasikan temuan lapangan mereka saat demo dimaksud, dan kami –saya dan mahasiswa/i yang lain– mendapat banyak ilmu dan informasi dari presentasi ketiga mahasiswa itu, yang tidak bisa kami peroleh dari  buku-buku dan artikel ilmiah yang ditulis oleh para ahli dari berbagai negara maju dan dari pemikir-pemikir Indonesia yang lebih banyak berpusat di Jawa, yang tidak begitu peduli sama konteks ekonomi dan politik lokal di Flores yang miskin.

Pada hari itu juga, saya pun mengirim foto soal presentasi demo mahasiswa Sikka di kelas saya ke WAG dosen STFK Ledalero, yang hanya mendapat satu komentar apresiatif dari Dr. Otto Gusti Ndegong Madung, SVD, sebagai Ketua STFK Ledalero sebagai berikut: “[w]ow great, Emil.”

Selain itu, pada tanggal 1 Oktober 2019, saya diwawancarai oleh wartawan Ekora NTT untuk menanggapi demo mahasiswa Sikka pada tanggal 26 September.

Dalam wawancara itu, saya mengatakan dukungan saya dan menentang institusi kampus yang menolak, termasuk pendapat Dr. Gery Gobang, Dosen UNIPA Maumere, yang cenderung mendiskreditkan demo mahasiswa Sikka, yang katanya tidak memiliki pijakan ilmiah, persis komentar-komentar dua dosen STFK Ledalero di WAG yang saya sudah singgung di muka.

Dengan melakukan semua hal ini, berkaitan dengan demo mahasiswa Sikka, tuduhan Elton kepada saya yang yang tidak turun bersama mahasiswa Sikka di Maumere pada tanggal 26 September 2019 adalah sebuah tuduhan remeh-temeh, yang biasa dilakukan oleh seorang pengecut dan ignoramus cum kapitalis di STFK Ledalero.

Keempat, Elton menulis bahwa “Emil sendiri selalu setia hadir di sana [di acara pesta emas STFK Ledalero), makan minum dengan bebas-merdeka.”

Di titik inilah, saya melihat Elton adalah seorang kapitalis yang kikir.

Saya makan minum dengan bebas-merdeka bisa ditafsir macam-macam.

Ketika menulis ini, saya bertanya-tanya,mengapa Elton tidak menulis hal lain, selain soal makan minum?

Misalnya, Elton bisa saja menulis “Emil sendiri selalu setia hadir di acara pesta emas STFK Ledalero, mondar-mandir dengan bebas-merdeka menunjukkan kesombongan intelektualnya.”

Mengapa Elton memilih soal makan-minum dan bukan soal lain?

Bagi saya, pernyataan Elton ini memiliki sebuah maksud tendensius untuk menyudutkan serentak merendahkan martabat saya sebagai buruh di STFK Ledalero, yang menerima gaji ala kadarnya.

Oleh karena itu, bagi saya, pernyataan Elton ini bisa ditafsir bahwa saya makan minum secara gratis, tidak membayar, dan juga tidak tahu malu karena hanya makan-makan minum seenak perut saya sendiri di pesta emas STFK Ledalero, sekolah milik Elton, seorang kapitalis.

Elton mungkin ingin saya memakan dan meminum jamuan pesta emas STFK Ledalero terlebih dahulu harus membayar dengan sejumlah uang agar akumulasi profit STFK Ledalero tidak berkurang dengan pesta pora itu.

Di pesta emas STFK Ledalero itu, sependek ingatan saya, harus saya akui bahwa saya memang melakukan makan-minum secara gratis selama 4 kali seperti yang secara implisit dituduhkan Elton.

Jika satu kali makan, saya, misalnya, harus membayar 100,000 rupiah, maka saya harus membayar 400,000 rupiah.

Namun, kalau pun saya harus membayar untuk jamuan 4 kali makan itu, nilainya, menurut perhitungan saya, masih jauh di bawah waktu dan tenaga yang saya keluarkan untuk menyukseskan pesta emas STFK Ledalero, milik Elton, sang kapitalis itu.

Sebab, di pesta emas STFK Ledalero itu, saya memaparkan artikel penelitian saya tentang “Koperasi dan Reproduksi Kemiskinan di Flores,” yang sudah saya kerjakan sedikit demi sedikit sejak tahun 2012 dengan biaya penelitian sendiri.

Saya tidak menghitung berapa nilai artikel dan presentasi artikel saya itu dalam rupiah dan, apalagi, hal itu tidak perlu karena saya ingin secara tulus membantu STFK Ledalero dalam menyukseskan acara pesta emasnya.

Namun, jika saya menghitung dan membandingkan dengan honor satu tulisan saya di Jakarta Post, Majalah Basis, Koran Tempo,dan Tirto, yang mana proses penulisannya tidak memakan waktu begitu lama dan tidak perlu mempresentasikannya di depan publik seperti paper yang saya presentasikan di seminar internasional dalam rangka memeriahkan pesta emas STFK Ledalero, maka jamuan makan-minum  selama 4 kali dalam acara pesta emas itu  tidak sebanding dengan tenaga dan pengorbanan saya.

Oleh karena itu, sikap sinis Elton yang demikian hanya dilakukan oleh seorang kapitalis, yang kikir dan rakus. (bersambung…)

Menyimak Kisah Guru Itha Dhiki, Korban Kerusuhan Wamena Asal Ende-NTT

0

Ende Ekorantt.com – Pasca kerusuhan di Wanena-Papua 23 September 2019 lalu, sebanyak 35 warga NTT dipulangkan ke daerah asalnya masing-masing. Ada 8 orang dari Flores Timur, 8 orang dari Ende, dan 19 orang dari Nagekeo.

Satu diantara para pengungsi itu adalah Bergitha Dhiki. Perempuan yang biasa disapa Ibu Itha ini berasal dari Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende.

Ia merantau ke Papua dan bekerja sebagai guru bersama suaminya Anselmus Resi yang juga seorang guru.

Ibu Itha diangkat menjadi guru PNS pada SMP Eleim di Kabupaten Yalimo tujuh tahun silam. Kabupaten Yalimo adalah pemekaran dari Kabupaten Wamena di Provinsi Papua.

Sementara suaminya, Anselmus Resi bekerja sebagai guru di SD YPPK St. Yusuf Wamena.

Dengan kondisi demikian, pasangan suami istri ini harus tinggal berpisah untuk menjalankan tugas mengajar. Suami bersama anaknya menetap di Wamena sedangkan dirinya harus tinggal di Kecamatn Yalimo yang jaraknya ratusan kilometer dari Wamena.

Mereka hanya bisa bertemu setiap akhir pekan.

Ibu Itha, Jum’at malam (18/10/2019) menuturkan, saat kerusuhan pecah ia sedang berada di rumah, mes guru Sekolah Dasar tempat suaminya mengajar.

“Secara tiba-tiba di luar rumah terjadi bunyi ledakan dan huru hara manusia. Di kompleks sekolah juga ada api, ternyata ruangan kantor sekolah sudah dibakar,” kisah Ibu Itha.

“Kami panik. Saya, suami dan anak-anak terjebak di dalam rumah. Tiba-tiba datang 4 orang, mereka sangat beringas. Di tangannya ada jerigen. Itu isinya mungkin bensin. Sementara rumah kami dilempar dengan batu batu besar. Kaca rumah pun hancur berantakan.”

Berutung saja, saat panik, keluarga Ibu Itha diselamatkan oleh seorang sahabat suaminya. Seorang perempuan Papua menghadang 4 orang tak dikenal di depan gerbang rumah miliknya.

“Kalian jangan bakar. Jangan bunuh. Kalau kalian bakar atau bunuh, silakan bunuh dahulu saya,” ungkap Ibu Itha meniru kata-kata perempuan yang menyelamatkan keluarga mereka.

“Jadi kacau itu sekitar 3 jam. Kami tidak bisa keluar. Karena di luar sangat seram, anak saya ini sampai muntah-muntah karena ketakutan. Semua kami lihat dengan mata sendiri di balik jendela rumah.”

Dirinya bersyukur karena selamat dalam kejadian itu. Bersama keluarganya, Ibu Itha diamankan di Kantor Polres Wamena sejak 23 September hingga 29 September 2019.

Sejak terjadi kerusuhan, tutur Ibu Itha, banyak warga yang ditampung di kantor Polisi, Koramil , Kodim, markas Batalion,dan rumah ibadah. 

“Itu kita semua panik jadi kami tidak berani pulang ke rumah.”

Di Polres Wamena Ibu Itha dan ratusan pengungsi tinggal satu minggu. Karena situasi masih mencekam, mereka diangkut menggunakan pesawat Herkules milik TNI AD menuju Jayapura.

“Kami di Polres Wamena satu minggu, ada ratusan pengungsi asal NTT. Saya lupa jumlahnya, tapi cukup banyak. Ada yang dari Nagekeo, Maumere dan Ende,” tuturnya.

“Makan minum semua pemerintah yang mengurus, baik dari Provinsi Papua maupun provinsi NTT.”

Pilihan kembali ke daerah asal adalah pilihan yang sulit bagi Ibu Itha mengingat sang suami masih bertahan di Wamena menunggu situasi kondusif.

Namun berdasarkan koordinasi dengan pihak sekolah tempat ia mengajar, dirinya bersama anak-anaknya dipersilahkan pulang kampung sembari menunggu situasi kondusif.

Di Jayapura, Ibu Itha dan ratusan pengungsi asal NTT mendiami Markas Batalion 751 Jayapura.

Setelah satu minggu di sana, mereka kemudian diantar menggunakan KM Dobonsolo ke Makassar, Sulawesi Selatan. Perjalanan mereka tepuh 5 hari 5 malam.

Setibanya di Makassar, dirinya mengaku lega. Tapi pikirannya masih menyimpan tanya akan kondisi suaminya yang masih bertahan di Wemena.

“Di Makassar kami hanya satu malam menginap di Kantor Dinsos Provinsi Sulawesi selatan. Besoknya sudah dengan Bukit Siguntang dan turun di Maumere,” ujarnya.

Ibu itha menaruh syukur karena sampai di Kabupaten Ende dengan selamat.

“Kami ke Ende juga diantar oleh staf Dinsos Sikka. Dan malam ini kami diterima sangat baik oleh Dinsos Ende. Semua kebaikan ini kami serahkan kepada Tuhan untuk membalas,” ucapnya lega.

Rasa trauma memang membekas. Tapi hal itu tidak mengurungkan niat Ibu Itha untuk kembali ke Wemena. Sebab, menurutnya, tugas panggilan sebagai guru untuk mencerdaskan anak bangsa di Papua terus menyala dalam dirinya.

“Rindu untuk kembali, rindu rumah, rindu anak sekolah, semoga situasi cepat pulih dan semua akan berjalan normal. Saya pasti pulang lagi jika situasinya benar-benar kondusif,” kata Ibu Itha menutup perbincangannya dengan Ekora NTT.

Kepala DInas Sosial Kabupaten Ende, Marni Kusuma

Saat dikonfirmasi, Kepala Dinas Sosial Kabupaten Ende Marni Kusuma menjelaskan, ada delapan warga Ende yang dipulangkan pasca kerusuhan di Wanema beberapa waktu lalu.

Pihaknya akan terus bekerja dan berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait tentang informasi pengungsi asal Kabupaten Ende.

“Informasi yang kita dapatkan masih ada yang menyusul. Kita akan urus dengan baik,” ungkap Marni.

Yuk, Intip Sisi Unik Panen Hadiah Simpedes Larantuka Tahun 2019

0

Larantuka, Ekorantt.com – Bank Rakyat Indonesi (BRI) Cabang Larantuka kembali menggelar Program Panen Hadiah periode pertama tahun 2019 pada 18 Oktober 2019 lalu.

Program panen hadiah tahunan seperti biasanya selalu menyediakan berbagai macam jenis hadiah bagi pemenang undian.

Namun kali ini panen hadiah lebih unik. Pihak BRI Cabang Larantuka menggandeng Polres Flores Timur Unit Satuan Lalu Lintas (Satlantas) untuk memberikan doorprize atau kejutan kepada pengendara motor yang memiliki surat kendaraan yang lengkap.

Siang itu, ruas jalan Herman Fernandez, tepatnya di depan Pasar Daerah Larantuka yang menjadi panggung utama kegiatan diwarnai dengan aksi pemeriksaan surat-surat kendaraan bermotor oleh anggota Satlantas Polres Flores Timur.

Kegiatan pemeriksaan dipimpin oleh Kasat Lantas Polres Flotim AKP Gede Wiadyana ini berhasil menemukan 10 pengendara yang memiliki surat-surat kendaraan yang lengkap.

10 pengendara ini kemudian didampingi oleh Panitia Program Panen Hadiah menuju ke panggung utama untuk mendapatkan doorprize.

Sebelum mendapatkan hadiah kejutan, kesepuluh pengendara ini diuji pengetahuannya oleh panitia tentang dunia lalu lintas. Dari cara mengenakan helm hingga pada kewajiban pemilik kendaraan untuk membayar pajak kendaraan.

Adapun kejutan yang disiapkan oleh BRI Cabang Larantuka bagi 10 pengendara beruntung ini adalah voucher pulsa listrik dan Handphone sebesar Rp100.000.  

AKP Wiadyana mengapresiasi langkah Bank BRI Cab. Larantuka. Menurutnya kegiatan kreatif ini dapat menjadi kampanye bersama meningkatkan kesadaran masyarakat untuk tertib berlalu lintas.

“Kegiatan mitra ini sangat positif untuk membangun kesadaran masyarakat tentang dunia lalulintas. Harapan kita kegiatan kedepannya pihak BRI tetap mengandeng lembaga kepolisian untuk melaksanakan kegiatan kampanye kreatif seperti ini,” kata Wiadyana.

Panen Hadiah Simpedes

Pada program panen hadiah periode pertama tahun 2019 ini, BRI Cabang Larantuka menyiapkan 29 hadiah untuk 29 pemenang.

Hadiahnya beragam. Diantaranya 6 buah mesin cuci 2 lubang, 6 buah kulkas satu pintu, 6 buah telivisi 32 inci, 10 buah sepeda motor Yamaha, dan 1 buah mobil Suzuki ALL New Ertiga.  

Pimpinan Cabang BRI Larantuka Aroef Syarifudin mengatakan, program panen hadiah ini merupakan program rutin yang diselenggarakan dua kali dalam setahun.

Dijelaskan Syarifudin, dengan layanan teknologi perbankan yang disediakan oleh BRI seperti layanan ATM dan Mobile Banking, kalangan mikro Flores Timur  semakin antusias menabung di Simpedes BRI Larantuka.    

“Program ini dilakukan sebagai bentuk penghargaan dan terima kasih kepada nasabah khususnya nasabah Bank BRI Simpedes Cabang Larantuka. Kami, mengucapkan terima kasih atas partisipasi yang tinggi dari masyarakat Flores Timur, terutama nasabah BRI Simpedes yang berada di 10 unit BRI Cabang Larantuka,” kata Syarifudin.

“Semoga BRI menjadi berkat bagi kita semua, dan semoga kedepannya panen hadiah Simpedes BRI dapat dilaksanakan 3 kali dalam setahun.”

Program panen hadiah Simpedes periode pertama ini dimeriahkan dengan penampilan dari Mobile Legend Band (MLB), grup band lokal Flores Timur.

Kegiatan yang dipandu dengan kepiawaian oleh Master of Ceremoni Kiki Adonara menuai simpati dan decak kagum pengunjung pasar daerah Larantuka.  

Ditemukan Mayat di Lingko Nele, Korban Terjebak Api dan Kehabisan Oksigen

Borong, Ekorantt.com – Hari Minggu, 20/10/2019 sekitar 14.00 WITA, ditemukan sesosok mayat di Lingko Nele, Desa Golo Linus, Kecamatan Elar Selatan, Kabupaten Manggarai Timur.

Mayat tersebut berhasil diidentifikasi oleh petugas kepolisian bersama warga. Korban adalah seorang lelaki, bernama Aloysius Rama (74) asal Kampung Pepil, Desa Golo Linus, Kecamatan Elar Selatan, Kabupaten Manggarai Timur.

Wakapolres Manggarai, Kompol Thobias Tamonob kepada Ekorantt.com, Minggu (20/10/2019) menceritakan kronologi kejadian yang berhasil ditelusuri pihak kepolisian.

Pada hari Sabtu, 19/10/2019, sekitar pukul 09.00 WITA, korban pamit kepada Paula Nang istrinya dan keluar dari rumah menuju kebun kopi milik korban, di Lingko Nele, Desa Golo Linus, Kecamatan Elar Selatan, Kabupaten Manggarai Timur.

Saat itu kebun kopi milik korban terbakar, sehingga korban ke sana dengan maksud mencoba memadamkan kebakaran tersebut.

Sampai pukul 17.00 WITA, korban  belum juga pulang ke rumah. Sehingga sekitar pukul 17.30 WITA, anak kandung korban atas nama Ferdinandus Jafar (47), yang juga merupakan Kepala BPP Kecamatan Elar Selatan, Kampung Pepil, Desa Golo Linus bersama warga masyarakat berinisiatif melakukan pencarian. 

Pencarian berlangsung sampai pukul 22.00 WITA, di sekitar rumah warga dan lokasi kebakaran. Pencarian malam itu tidak menuai hasil. Korban tidak ditemukan.

Selanjutnya, pada Minggu 20/10/2019 sekitar pukul 11.00 WITA, Jafar melakukan pencarian di rumah Maria Dulun di Kampung Raong, Desa Sangan Kalo. Namun, korban tidak berada di sana. 

“Sekitar pukul 13.00 WITA, Jafar, anak korban, melakukan pencarian di kebun kopi miliknya, tetapi ia tidak menemukan ayahnya di sana. Selanjutnya, anak kandung korban itu menuju kampung Paku untuk kembali melakukan pencarian tapi hasilnya nihil,” kata Tamonob.

Sekitar pukul 13.40 WITA, keluarga mendapat informasi dari saudara Romanis Saruk bahwa korban telah ditemukan di hutan kopi milik Dominikus Lasa dalam keadaan tidak bernyawa. Di lokasi tersebut terjadi kebakaran hutan pada hari Sabtu, 19/10/2019, sekitar pukul 08.00 WITA sampai pukul 15.00 WITA.

Setelah mayat koran ditemukan, keluarga meminta Hendrikus Babang untuk melaporkan kejadian tersebut ke Kapospol Elar Selatan, AIPTU Petrus Amir.

Pada pukul 14.45 WITA, Kapospol Elar Selatan AIPTU Petrus Amir, KAUR Identifikasi BRIPKA Tony Yanto Bunda bersama dua orang anggota Intelkam Polres Manggarai langsung menuju TKP dan melakukan olah TKP.

Berdasarkan hasil olah TKP, diketahui bahwa korban ditemukan dalam keadaan meninggal dunia. Di sekitar jasad korban ditemukan bekas kebakaran api. Korban mengenakan baju berwarna biru dan celana pendek berwarna hitam. Posisi tubuh terlentang dengan kedua tangan di depan dada. Pergelangan hingga jari-jari kaki korban hangus terbakar api. Jari-jari dari kedua kaki korban sudah tidak ada. Kemungkinan besar telah dibawa pergi oleh anjing.

“Di tubuh korban tidak ditemukan tanda tanda kekerasan lain,” jelas Tamonob.

Saksi atas nama Romanus Saruk (65), orang yang pertama kali menemukan jasad korban menceritakan, pada hari Minggu 22/10/2019, sekitar pukul 09.30 WITA, dirinya mendapat informasi dari anak kandung korban bahwa sejak Sabtu-Minggu pagi korban belum juga pulang ke rumah.

Sekitar pukul 13.40 WITA dirinya melakukan upaya pencarian di kebun kopi milik korban, bekas kebakaran yang terjadi pada Sabtu, 19/10/2019. Dirinya lantas menemukan korban dalam keadaan tidak bernyawa di dalam kebun kopi milik Dominikus Lasa.

Setelah itu ia kembali ke kampung Pepil dan menyampaikan berita tersebut kepada anak dan istri korban serta warga masyarakat kampung Pepil.

Pada pukul 16.00 WITA jasad korban dibawa dari TKP menuju rumah duka dengan bantuan warga masyarakat kampung Pepil, Desa Golo Linus.

Pada pukul 17.18 WITA, jasad korban tiba di rumah duka dan dilakukan ritual adat Manggarai lalu semayamkan.

Istri dan anak kandung korban menerima dengan ikhlas kematian korban. Menurut mereka itu adalah musibah yang sudah ditakdirkan.

Istri dan anak kandung korban serta keluarga besar menolak dilakukan Visum Et Repertum terhadap jasad korban oleh pihak medis.

Keluarga korban juga akan melakukan ritual adat Manggarai saat pemakaman korban.

Korban disemayamkan di rumah duka di Kampung Pepil Desa Golo Linus, Kecamatan Elar Selatan, Kabupaten Manggarai Timur.

Korban diduga meninggal dunia akibat kehabisan oksigen, dan terjebak dalam kobaran api ketika berupaya melakukan pemadaman kebakaran api di kebun kopi miliknya.

Hingga saat ini Kapospol Elar Selatan bersama anggota tetap melakukan penyelidikan dan monitoring berkaitan dengan kasus tersebut.

Adeputra Moses

NasDem Siap Usung Deno-Madur di Pilkada 2020

0

Ruteng, Ekorantt.com – Menjelang perhelatan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten Manggarai pada tahun 2020, beredar isu pecahnya koalisi antara Bupati Manggarai, Deno Kamelus dan Wakil Bupati Manggarai, Victor Madur.

Isu pecahnya koalisi antara Ketua DPD Partai Amanat Nasional (PAN) dengan Ketua DPD Partai Nasional Demokrat (NasDem) Kabupaten Manggarai itu ternyata tak menjadi sebuah keputusan yang resmi. 

Hal itu ditegaskan oleh Partai NasDem yang telah memastikan akan mengusung kembali Deno Kamelus dan Victor Madur dalam pilkada Manggarai 2020 mendatang.

DPD Partai NasDem Kabupaten Manggarai telah mempresentasikan hasil penjaringan dan verifikasi dalam rapat pleno di tingkat Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai NasDem.

Hal tersebut dibenarkan oleh Kanisius Erom, ketua tim pendaftaran bakal calon Bupati dan Wakil Bupati DPW Partai NasDem Kabupaten Manggarai. 

Kata Kanisius, keputusan partai menetapkan Deno-Madur sebagai calon Bupati dan Wakil Bupati.

Hal itu diputuskan setelah tim penjaringan dari DPW NasDem Manggarai memaparkan nama-nama yang telah mendaftarkan diri beberapa waktu lalu di hadapan DPD NasDem NTT pada Sabtu (19/10) di Kupang.

“Dalam rapat pleno kemarin diputuskan NasDem akan berkoalisi dengan PAN,” tutur Erom saat dikonfirmasi Ekorantt.com, Minggu (20/10/2019).

Lebih lanjut Erom menjelaskan, dengan ditetapkannya paket tersebut, DPD NasDem NTT akan mengundang Deno dan Madur untuk memaparkan visi-misi membangun Manggarai di hadapan DPD NasDem NTT pada tanggal 24/10/2019.

“Nanti tanggal 24 Oktober ini, Pa Deno dan Pa Viktor akan ke Kupang untuk pemaparan visi-misi di hadapan DPD NasDem NTT,” pungkasnya.

Adeputra Moses

Siprianus Kolo, Mantan Kades Sunkaen Dipenjara 18 Tahun

0
  • Kasus Persetubuhan Paksa Anak di Bawah Umur

Kefamenanu, EKORA NTT – Kasus persetubuhan paksa yang melibatkan Kepala Desa Sunkaen, Siprianus Kolo berakhir dengan hukuman kurungan penjara 18 tahun bagi si pelaku.

Kasus tersebut mencuat ke permukaan setelah korban berinisial YN (17) didampingi kakak korban akhirnya melaporkan tindakan kriminal yang menimpa dirinya tersebut kepada pihak Kepolisian Timor Tengah Utara pada tanggal 27/2/2019.

Penyidikan pihak Polres TTU membuktikan, Kades Sunkaen telah melakukan persetubuhan paksa dengan YN yang masih dibawah umur hingga YN mengandung. Menurut keterangan korban, ketika kandungannya berumur tujuh bulan, pelaku yang saat itu menjabat kepala desa meminta korban menggugurkan kandungan demi menghindari aib.

Ketua Kejaksaan Negeri Kefamenanu, Bambang Sunardi saat ditemui di ruang kerjanya, Sabtu (19/10/2019) mengatakan, Kades Sunkaen, Siprianus Kolo merupakan pelaku persetubuhan anak dibawah umur dan harus menerima sanksi berupa kurungan penjara yang cukup lama.

Terpidana Siprianus Kolo harus mendekam di penjara selama 18 tahun, sesuai vonis yang dibacakan oleh hakim Pengadilan Negeri Kelas II Kefamenanu beberapa hari yang lalu.

Siprianus Kolo divonis dengan hukuman tersebut karena terbukti bersalah melakukan tindakan pidana persetubuhan anak dibawah umur, yang terjadi sejak tahun 2016 lalu.

Bambang mengatakan, terkait sidang putusan kasus yang menghebohkan warga Kabupaten TTU tersebut, vonis hakim lebih tinggi dari pada tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

“Tuntutan kita adalah 16 tahun penjara, jadi diputus lebih tinggi dari tuntutan kita, 18 tahun penjara,” terangnya.

Bambang mengatakan, putusan hakim lebih tinggi dari pada JPU karena yang bersangkutan terlalu berbelit-belit dalam memberikan keterangan. Yang bersangkutan juga merasa seolah olah tidak melakukan kejahatan apapun.

“Padahal alat buktinya sudah cukup. Orangnya ada semua. Maka hakim dengan pertimbangan itu, menjatuhkan vonis lebih tinggi dari tuntutan kita,” ungkapnya.

Diberitakan media ini sebelumnya, salah seorang oknum Kepala Desa Sunkaen di Kecamatan Bikomi Ninulat, Kabupaten TTU, terbukti melakukan tindakan persetubuhan secara paksa dengan anak dibawah umur.

Berdasarkan informasi yang dihimpun media ini diketahui, kasus persetubuhan itu terjadi sekitar tiga tahun lalu tepatnya pada tahun 2016. Pada saat itu, YN disetubuhi oleh Siprianus Kolo sebanyak tiga kali.

(Santos)

Di Ruteng, Ledakan Kompor Picu Kebakaran Rumah dan Ruko

0

Ruteng, Ekorantt.com – Peristiwa kebakaran kembali terjadi di Kota Ruteng, tepatnya di Kelurahan Pitak, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Kebakaran terjadi pada Sabtu, (19/10/2019).

Berdasarkan pantauan Ekorantt.com di tempat kejadian perkara (TKP), terlihat beberapa bangunan seperti; rumah, kios, dan counter HP ludes terbakar dilahap si jago merah. Satu unit mobil pun ikut terbakar dalam peristiwa naas tersebut.

Belasius Sahusatar, salah satu saksi pada peristiwa tersebut menjelaskan, sekitar pukul 13:30 WITA terjadi kebakaran di lapak jualan gorengan.

Kata Belasius, api tersebut mungkin diakibatkan oleh ledakan kompor yang sumbernya dari lapak jualan gorengan. Lantaran peristiwa tersebut berlangsung dalam kondisi angin kencang, percikan api pun ikut merambat ke kios milik Bapa Aleksius.

“Rumah di sebelah dan bangunan lainnya ludes terbakar ” ujarnya.

Ia menjelaskan, dalam peristiwa itu ada 5 unit bangunan rumah yang ludes terbakar. Bahkan, bangunan seperti; kios, laundry, dan pangkalan minyak tanah ludes terbakar.

Begitu terjadi kebakaran, warga datang dan membantu memadamkan api, sehingga cukup banyak barang-barang yang bisa diselamatkan.

“Mobil pemadam kebakaran baru tiba di TKP setengah jam kemudian,” tuturnya.

Sebagian atap rumah milik Belasius Sahusatar rusak akibat semprotan air untuk memadamkan api yang hampir merambat ke rumah miliknya.

Menurut Belasius, kebakaran itu adalah sebuah musibah. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa tersebut.

Adeputra Moses

Ada 41 Kasus Lakalantas di Manggarai Tahun 2019, 31 Orang Meninggal

0

Ruteng, Ekorantt.com – Sesuai data IRSMS (Integrated Road Safety Management System), tahun 2019 kecelakaan Lalulintas (Lakalantas) di Kabupaten Manggarai dan Manggarai Timur berjumlah 41 kasus.

Demikian disampaikan Kanit Lakalantas Polres Manggarai saat diwawancara Ekorantt.com di ruang kerjanya. Jumat (18/10/2019).

Dikatakannya, sudah ada 82 korban jiwa dari total 41 kasus tersebut, diantaranya 31 orang meninggal dunia dan 18 orang luka berat.

“Sedangkan yang mengalami luka ringan berjumlah 33 orang,” katanya.

Ia pun menyebutkan, kerugian material dari kasus lakalantas mencapai Rp.406.300.000,00 (empat ratus enam juta tiga ratus ribu rupiah).

Ia mengimbau kepada seluruh pengguna jalan agar tetap berhati-hati terutama dengan kondisi jalan yang juga masih rusak.

“Kami juga mengimbau kepada masyarakat yang jalan kaki agar tetap berhati-hati. Sehingga angka kecelakaan lalu lintas tidak meningkat,” tutupnya.

Adeputra Moses