Kisah Pemulung di TPA Wairi’i: Mengais Sampah Demi Sekolahkan Anak

Maumere, Ekorantt.com –  Laurensia Nita (58) yang akrab disapa Mama Nita begitu lincah dan gesit memilah sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Wairi’i, Maumere, Flores, NTT.

Wanita ini sudah 29 tahun menjalankan profesinya sebagai pemulung. Dia tidak menghiraukan aroma yang menyengat dan banyaknya lalat pada gundukan sampah-sampah di TPA tersebut.

Sesekali, Mama Nita mengusap keringat di dahinya dengan tangan. Cuaca pukul 13 siang itu begitu panas. Terik matahari di Wairi menyengat tubuh renta Mama Nita. Tak menghiraukan cuaca, Mama Nita tak henti-hentinya bekerja.

Kepada EKORA NTT, Sabtu (16/11) di TPA Wairi’i, Mama Nita mengisahkan kisah hidupnya sebagai pemulung yang sudah berlangsung selama 29 tahun.

Ia merasa bersyukur dengan pekerjaan yang digelutinya sekarang karena dapat mencukupi kebutuhan keluarganya. Ia juga dapat membiayai sekolah anaknya.

iklan

“Lumayan Pa, hasil barang bekas kami ambil di TPA Wairii cukup banyak. Tiap hari sampahnya meningkat. Saya bersyukur, itu bisa bantu ekonomi keluarga,” ucap Mama Nita.

Dia menyebutkan, setiap bulan rata-rata penghasilan yang ia dapat dari hasil memulung ini sekitar Rp.500 ribu. Kadang hasilnya tidak sampai begitu.

“Barang bekas ini setiap hari kami pilih. Lalu kami pilah-pilah jenis sampahnya, seperti sampah plastik, aluminium, besi, kardus dan lainnya. Kemudian sampah plastik tersebut kami  kumpulkan ke dalam karung berukuran besar sampai satu bulan. Nanti, itu baba Sinar Agung datang beli di TPA Wai’rii, ” sebut Mama Nita.

Senada dengan Laurensia Nita, Ardiana Yohana pemulung lainnya mengatakan, “penghasilan kami tidak menentu karena harganya tidak seberapa. Botol kaleng, aqua gelas, aqua botol ini sangat ringan.”

“Kalau barang besi, aluminium tembaga kami kumpulkan selama seminggu baru ditimbang. Lumayan bisa mendapatkan Rp.100 ribu untuk beli beras atau biaya sekolah anak dan kebutuhan lainnya,” ucap Mama Ardiana.

Kedua wanita ini menuturkan, aroma di TPA Wairii ini sudah bersahabat dengan mereka sehingga mereka  tidak lagi mencium bau sampah.

“Untuk menjaga kesehatan biasanya kami cuci kaki tangan dengan sabun sebelum makan. Kalau tidak ada air, apa boleh buat, kami tidak cuci kaki tangan. Kami di sini susah air bersih ” ungkap kedua wanita yang menyandang status janda ini.

Stefanus Sino yang juga pemulung TPA Wairii menambahkan, jumlah pemulung TPA Wairii ada 18 orang. Rata-rata janda dan duda.
“Kami bekerja sebagai pemulung sudah 29 tahun. Lumayan pak, kami bisa biaya sekolah anak dan biaya kebutuhan kami sehari-hari,” tutur Bapak Stef. (yop)

TERKINI
BACA JUGA