Kisah Bupati Pertama Ende, Dari Tidur Pakai Tikar di Jalan Hingga Getol Promosi Kelimutu

Ende, Ekorantt.com – Tidak banyak yang tahu nama Mauritz Gerardus Winokan. Padahal dialah Bupati Ende pertama yang menjabat  selama delapan tahun, sejak tahun 1958 hingga tahun 1966.

Ekora NTT berhasil mewawancarai anak kelima dari M.G. Winokan, Maria Theresia Winokan, 70 tahun. Theresia menceritakan kebersamaannya bersama sang ayah, sejauh yang ia ingat.

Winokan adalah putra dari ayah Robert Winokan yang berasal dari Manado dan ibu Jumlath yang berasal dari Suku Dayak-Kalimantan. Winokan, tutur Theresia, menikahi anak raja Manggarai bernama Anna Mamoer Baroek. Keduanya dikarunia 11 anak. Enam orang laki-laki dan lima orang perempuan, termasuk dirinya.

Sebelum menjadi Bupati Ende, Winokan bekerja sebagai Kepala Pos di Manggarai. Ia sempat berpindah ke Sumba dan Larantuka, sebelum diangkat menjadi Bupati Ende pada tahun 1958 oleh Gubernur NTT, W. J Lalamentik.

Saat itu, Luis Manteiro menjabat Kepala Daerah Flores. Ketika daerah Flores dimekarkan menjadi lima kabupaten, W. J Lalamentik terpilih menjadi Gubernur NTT dan M.G. Winokan diangkat menjadi Bupati Ende pada tanggal 20 Desember 1958.

iklan

Meskipun seorang Katolik, ia punya kedekatan khusus dengan umat Muslim di Ende. Tak heran, beberapa partai Islam mengusulkan namanya pada sidang paripurna DPRD Ende tahun 1961. Ia terpilih lagi dan dilantik menjadi Bupati Ende untuk masa bakti 1962-1967.

Selama memimpin Kabupaten Ende, Bupati Winokan dikenal sebagai pemimpin yang rendah hati dan dekat dengan rakyat. Ia rajin berkunjung ke desa-desa. Bahkan, bermalam di kampung-kampung, bercengkrama bersama masyarakat. Hal ini ia lakukan saat memantau pembangunan infrastruktur.

“Bapa kalau turun ke kampung-kampung, sering bermalam bahkan tidur di jalan dengan tikar dan kelambu yang dibawa dari Ende,” kenang Theresia.

Yang  paling membekas bagi Theresia adalah saat sang ayah merintis pembangunan jalan dari Moni menuju puncak Danau Kelimutu.

“Bapak sangat getol mempromosikan Kelimutu. Sampai-sampai suatu saat bapak minta saya menjadi model, difoto di area Danau Kelimutu untuk dipromosikan ke dunia luar. Ada itu, sempat dimuat di majalah milik tentara Indonesia,” kenangnya lagi.

Selain itu, salah satu buah karya Bupati Winokan adalah pot bunga berukuran besar di sepanjang Jalan Soekarno. Hingga kini, pot-pot tersebut masih utuh.

Di bidang pemerintahan, Bupati Winokan dikenal sebagai pejerja keras dan pandai merangkul semua elemen masyarakat. Tak menunda tugas dan tuntas bekerja.

Bupati Winokan dibantu seorang Sekda bernama Anton Labina berserta empat asisten yakni Bapak Madjid, Bapak Meke, Bapak Wake, dan Bapak Abdurahmad Rodja.

Bupati Winokan didukung juga oleh istri, Anna Winokan. Masa itu, kata Theresia, ibunya cukup aktif memberdayakan perempuan Ende.

“Setiap minggu, mama selalu menyempatkan waktu mengajar ibu-ibu di Kota Ende untuk membuat kue, menjahit, menata pot bunga, bahkan dibagi beberapa kelas. Ada kelas satu, ada kelas dua. Jadi mama sangat sibuk. Itu semua dilatih di satu tempat. Dulu ada gedung di sekitar rumah sakit misi sekarang,” ujar Theresia.

Theresia bilang, sang ayah selalu menyelipkan sebuah pepatah tua sebagai motivasi saat berdiskusi bersama anak-anaknya.

“Harimau mati meninggalkan belangnya, gajah mati meninggalkan taringnya, manusia mati meninggalkan namanya,” Theresia mengenang pepatah yang disampaikan sang ayah.

Bupati Winokan meninggal saat sedang menjabat Bupati Ende. Ajal menjeputnya pada 9 Juli 1966 setelah bergelut dengan penyakit yang mengganggu usus 12 jarinya sejak awal tahun itu.

Saat menderita sakit, Bupati Winokan sempat merintis pembangunan jalan layang yang menghubungkan Taman Bung Karno dan Taman Rendo di Kota Ende.

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA