Di Balik Tradisi Memasak Pakai Tungku di Flores Timur

Larantuka, Ekorantt.com – Meliana Kelen (19) tampak sibuk. Ia masih sering memasak menggunakan tungku api di dapur belakang rumah miliknya.

Asap pekat membubung naik setelah kayu-kayu yang tersusun rapi di cela-cela batu itu hangus terbakar nyala api.

Ketika nyala api tidak begitu normal, Meliana meraih kipas yang terbuat dari daun lontar dan segera mengibaskan arang-arang yang hampir mulai meredup.

Hal yang sama dilakukan Yustina Tobi (20), saat ditemui Ekora NTT di rumahnya. Tepat di belakang dapur, Yustina bilang, dia lebih suka memasak pakai tungku.

“Lebih enak masak pakai tungku, rasanya natural,” katanya pada Rabu (27/7/2022).

iklan

Terlepas dari aktivitas Melia Kelen dan Yustina, pengalaman yang sama juga dilakukan perempuan Flores Timur lainnya saat memasak menggunakan tungku api.

Warga Flores Timur pada umumnya melihat tungku api sebagai salah satu peralatan tradisional dalam kebudayaan setempat, yang diwariskan oleh nenek moyang sejak dahulu kala.

Meski begitu, tungku api yang dipakai untuk menanak nasi dan juga membakar dalam kegiatan masak-memasak tersebut memiliki filosofi yang tidak bisa dipisahkan dari aktivitas tersebut.

Tungku api biasanya terdiri dari tiga tungku, dan tiap kolong dari ketiga tungku tersebut disisipi kayu. Kayu-kayu tersebut dibakar sehingga menjadi arang.

Meskipun berada di tengah kota Larantuka, masih banyak warga memilih menjadikan tungku api sebagai alat untuk memasak.

Hal itu, sebut mereka, lebih ekonomis ketimbang menggunakan kompor gas atau kompor biasa.

“Beda rasanya, lebih cepat masak, lebih praktis serta menghemat bahan bakar,” kata Ibu Sensi (43), warga Kota Larantuka-Flores Timur.

Selain itu, Meliana Kelen (19) melanjutkan, tiga tungku yang disusun untuk memasak itu pewarisan dari orang tua kepada mereka. Mereka malah tidak tahu sejak kapan tungku itu harus tiga.

“Kami tidak tahu. Dari dulu orang tua warisan masak pakai tiga tungku. Kami ikut saja hingga sekarang,” ujarnya.

Sementara itu, pegiat Budaya dan Sastrawan asal Flores Timur, Silvester Petara Hurit melihat ada nilai lain yang terungkap dari tungku api tersebut.

“Api alam tu punya daya membersihkan, menyucikan. Api adalah energi. Apalagi ditopang oleh tungku. Masakan berada di dunia tengah, antara yang profan dan transenden,” sebut Sil Hurit.

Sil bilang tiga tungku merupakan simbol kekokohan yang saling menopang.

“Tiga tungku itu simbolik. Simbol akan kekokohan karena saling topang. Menuju yang satu, yang tunggal. Yang ideal,” sebutnya.

Bernard Tukan, pengamat Sosial Budaya melihat secara lain kehadiran tungku api di bumi Flores Timur.

Ia membangun argumentasi berangkat dari pertimbangan praktis.

“Tiga batu tungku dalam unsur kebudayaan ia termasuk peralatan dan teknologi tradisional. Di mana orang menggunakan alat untuk memudahkan pekerjaan, dalam hal ini untuk memasak. Saya kira tidak semua hal dalam kehidupan manusia dikaitkan dengan nilai-nilai,” ujarnya.

Ia menyebut, penafsiran itu muncul kemudian setelah adanya realitas.

“Kemudian baru orang membuat penafsiran. Orang buat pertama itu dia buat saja. Dan orang memaknai penafsiran itu. Dulu orang pakai periuk tanah bulat. Sehingga tempat duduknya harus pas maka harus ada tiga batu,” tukasnya.

Ia menyebut tiga tungku pada waktu itu tidak berangkat dari pertimbangan nilai atau filosofi.

“Itu berangkat dari pertimbangan praktis. Setelah itu baru orang memberi penafsiran-penafsiran. Hal itu kemudian ada yang menafsirkan peran tiga elemen mendukung pembangunan dan sebagainya,” pungkas Bernard Tukan.

TERKINI
BACA JUGA